2. Unexpected Meeting

13K 610 5
                                    

"Apa? Revan selingkuh lagi?"

Rara mengangguk lemah. Air matanya terus berderai seiring ia menceritakan perihal tindak tanduk Revan yang kelewat batas.

"Gila! Kurang ajar banget tuh cowok!" geram Kiran, yang sudah bersahabat dengan Rara sejak mereka masih sama-sama bocah ingusan. Dan kini, keduanya mengenyam bangku kuliah di kampus yang sama.

Sekelumit ingatan menyedihkan semasa hidup Rara seringkali menyusupi ruang pikirannya. Membuat gadis itu muak bukan kepalang. Dirinya baru sadar betapa bodohnya ia hingga mau-mau saja termakan tipuan dusta dari para lelaki sialan itu. Lelaki yang dahulu pernah mendiami ruang hatinya.

Setelah kesekian kalinya, Rara sadar. Ia bangkit dari keterpurukannya. Kemudian mulai mencatat poin-poin penting yang harus selalu diingatnya dalam menyikapi sebuah perasaan. Gadis itu kapok. Ia trauma merasakan cinta. Memilih untuk pergi dan mengubur hatinya dalam-dalam. Membangun pagar sekokoh karang yang menjulang tinggi melingkupi hati kecilnya. Hati yang sudah seringkali dihujani luka. Kini, sesuatu bernama cinta itu kian terasa bagai sepucuk meriam dan sebilah pisau. Tak lantas memberinya kebahagiaan yang kekal, justru hanya akan membuatnya semakin jatuh terperosok ke dalam permainan cinta menyakitkan.

Pagi ini. Pagi yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Seorang gadis berpakaian casual itu terduduk sambil membaca takzim sebuah novel yang memang selalu dibawanya kemana-mana. Sesekali ia menyesap pelan secangkir espresso di atas meja. Tapi, kali ini ia tak sendiri. Sebab ada kawan karibnya yakni Kirana. Dan kali ini tak hanya ada mereka berdua di sudut cafe yang selalu ramai itu. Sebab katanya salah satu teman baik mereka-yakni Salsha, akan turut datang menemani. Ketiganya berjanji di kafe tersebut tepat pukul sebelas.

Bunyi lonceng pertanda terbukanya pintu kafe terdengar menggema di sudut ruangan. Derai tawa kedua gadis muda begitu terdengar riang memekakkan telinga. Rara menolehkan pandangannya sekejap.

"Hei, Ra. Udah dari tadi lo disini?"

Rara mengangguk. Gadis itu lantas melayangkan senyum indahnya. Cantik sekali. Sungguh disayangkan bila gadis secantik dirinya banyak dipermainkan hati lelaki.

"Aduh, sorry ya, Ra. Biasa lah, Jakarta macet." Tukas Salsha yang kemudian beranjak menduduki pantatnya di atas kursi empuk. Gadis itu lantas melambaikan tangannya memanggil waiter.

Selesai ketiganya memesan makanan, Kiran menunduk sambil melayangkan tatapan gusarnya. Kemudian, gadis itu berbisik pelan.

"Gila lo, nggak punya tempat lain ya, selain di sini? Lo nggak bosen apa?" gerutunya pelan. Rara tersenyum simpul.

"Udah lah, gue udah nyaman banget sama tempat ini. Adem. Lihat, kan? Di mana lagi kita bisa ngerasain sejuknya duduk di tempat penuh pohon-pohon rindang kayak gini." Ujarnya membela diri. Kiran berdesis sebal.

Salsha ikut menenangkan Kiran. "Udah lah, Ran. Bener banget apa kata Rara. Dimana lagi kita bisa lihat pemandangan sejuk kayak di kafe ini?" ujarnya ikut membela Rara.

Kirana memicingkan matanya tajam. "Yee, pemandangan sejuk menurut lo sih gara-gara cogan. Iya, kan?"

Salsha nyengir lebar. Gadis berambut keriting itu membentuk sebuah huruf V dengan kedua jarinya.

Waktu terus bergulir. Kini, ketiga gadis muda itu sudah terlarut dalam obrolan-obrolan seru sebagai pelepas penat mereka sepulang kuliah. Piring-piring makanan di meja mereka pun sudah kandas dibuatnya. Tak terkecuali dengan sekotak french fries yang tak pernah absen dibeli Salsha.

Setengah jam kemudian, detik waktu seakan terhenti begitu saja. Suasana menjadi hening seketika tatkala sebuah lonceng bergema memenuhi sesak ruangan. Tatapan mata para pengunjung memburu tiga sosok pria berperawakan tegas dari balik pintu kafe. Paras dan pesona mereka sebagai seorang tentara membawakan oase baru di kafe kawula muda tersebut. Membuat para wanita sulit mengedipkan mata.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang