5. Mama Minta Pulang

8K 476 3
                                    

"Kamu kapan pulang ke rumah toh, Lek? Ndak kangen sama ibu dan ayahmu?"

Sesosok pria berseragam lengkap dengan atribut dan brevet yang menambah kesan kharismatiknya duduk tercenung di barak remaja. Kedua matanya terhuyung sendu. Baret hijau tuanya tak lepas dari genggaman kedua tangan tegapnya. Percakapannya dengan sang ibu di telepon kala itu kembali membayangi pikirannya.

"Cepat pulang yo, Lek. Ada hal penting yang ingin ibu bicarakan sama kamu."

Hal penting? Perihal apa?

Sekelumit pertanyaan menjejali ruang pikiran tentara gagah bernama Angga. Wajahnya terlihat sayu seiring dengan pikirannya yang terus meracau frustasi. Sudah beberapa hari ini sang ibu meneleponnya untuk sekedar menanyakan kapan ia bisa pulang ke kampung halamannya. Padahal, tak biasanya sang ibunda menyuruhnya agar cepat pulang, apalagi katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan.

Sebagai anak, Angga paham betul bagaimana sifat dan perangai ibunya. Wanita paruh baya yang sangat kental dengan budaya jawanya itu tak pernah menyembunyikan sesuatu tentang apapun yang bersangkutan dengan anak lelakinya. Apalagi, Angga kini sudah beranjak dewasa. Ia sudah cukup matang bagi sang ibu untuk merahasiakan sesuatu yang menyangkut dirinya. Apapun itu, Angga berhak tahu.

Sebuah getaran di ponsel pintarnya memutus sejenak lamunannya. Sederet nama sang komandan tertera di layar ponselnya. Tanpa perlu aba-aba lagi, lelaki itu segera menekan tombol terima panggilan.

"Siap, selamat siang, Ndan."

"..."

"Siap, sedang di barak remaja, Ndan. Izin petunjuk?"

"..."

"Siap, siap, Ndan. Segera merapat."

Kapten Surya, salah seorang senior yang kini menjabat sebagai komandan kompi di kesatuannya itu memutus sambungan telepon setelah mengucap salam. Angga kembali memasukkan ponsel pintarnya ke dalam saku. Kemudian, tanpa ba-bi-bu lagi, lelaki itu segera melangkah pergi menemui dankinya.

OOO

Derap langkah sepatu PDL menggema di lorong barak menuju ruang pribadi komandan kompi di kesatuan tempatnya bekerja. Lelaki itu berjalan dengan langkah pastinya menemui sang danki.

"Masuk!"

Suara bariton itu pecah begitu saja setelah Angga mengetuk sebuah pintu di ujung lorong beberapa kali. Lelaki itu memutar pelan gerendel pintu, lalu membukanya perlahan.

Kapten (Inf) Surya Sudrajat, S.S.T. Han. Begitulah yang tertera di atas sebuah papan yang terletak di atas meja. Lelaki berpangkat kapten itu berdiri sejenak. Membalas hormat dari junior kesayangannya, lalu duduk dengan tegak kembali.

"Izin menghadap, Komandan."

Kapten Surya mengangguk pelan. "Ya, duduklah dulu, Ga."

"Siap, terimakasih." Angga menduduki sebuah kursi di seberang meja komandannya.

Angga menatap lurus-lurus komandannya. Tanpa memalingkan sedikit pun pandangannya. Tentara berpangkat Lettu alias Letnan Satu itu duduk tegap menanti sang komandan memulai pembicaraan mereka.

"Jadi, begini, Ga."

Lelaki yang sudah dianggap Angga sebagai abangnya sendiri itu memposisikan dirinya di seberang meja. Kesan serius tergambar jelas di raut wajahnya yang tegas. Lelaki yang tak lama lagi usianya memasuki kepala empat itu melipat kedua tangannya di atas meja.

"Sehubungan dengan diadakannya pergiliran satgas pamtas di Lebanon, saya ingin kamu siapkan prajurit-prajurit kita yang mumpuni untuk dikirimkan ke sana." Titahnya.

Angga mengangguk pelan. "Siap, laksanakan, Komandan. Izin, apakah Komandan juga akan menugaskan saya ke sana?"

Kapten Surya menggeleng. Angga terheran-heran dibuatnya.

"Untuk saat ini, mungkin tidak, Ga. Kamu sudah turun tangan saat operasi pembekukan teroris di Malinau bulan lalu."

Angga menghela nafas lega. Dengan begitu, ia bisa mengunjungi ibundanya sesegera mungkin.

"Tapi, saya sudah siapkan tugas tersendiri, khusus untukmu."

Angga mendongak. Kembali keheranan mendapati sang komandan berbicara demikian. Tugas khusus? Apa itu?

"Izin, Komandan. Tugas apa itu?" tanyanya. Sedikit gusar.

Kapten Surya menarik lekuk bibirnya sekilas. Sebelum akhirnya ia menjelaskan secara gamblang sesuatu yang kemudian kembali membuat juniornya terheran-heran.

"Nanti juga kamu akan tahu."

OOO

"Iya, Bu. Besok malam insya Allah Angga sampai di Semarang." Ucap seorang pria berambut cepak di telepon genggamnya.

"Wis minta cuti, toh?"

Pria yang kini tengah bersantai usai melatih para juniornya yang hendak diikutsertakan kejuaraan menembak senjata mesin ringan dalam ton tangkas dua minggu yang akan datang itu mengibas-ngibaskan sebuah koran untuk mengipasi tubuhnya yang kegerahan. Dirinya menduduki sebuah dipan di depan barak yang kini cukup sepi itu.

"Nggih, Bu. Angga dapat jatah cuti tiga hari," paparnya kepada sang ibu di telepon.

"Oh, ya sudah. Ibu tunggu di rumah toh, Lek."

Usai mengucap salam, telepon dimatikan sepihak oleh sang ibunda. Angga mengurut pelipisnya yang agak terasa pusing itu. Batinnya berkecamuk hebat. Memikirkan beragam hal yang kini menjadi bobot pikiran dalam kepalanya. Pertama, memikirkan tentang tugas khusus yang dirahasiakan sang komandan darinya, dan yang kedua, memikirkan tentang hal penting apa yang ingin disampaikan sang ibu. Pasalnya, ibundanya itu belum pernah meneleponnya untuk hal yang terkesan genting dan terburu-buru sebelumnya. Beliau terkenal sebagai wanita yang sabar dan paling pengertian. Tak pernah menuntut sang anak yang pergi merantau untuk segera pulang menemuinya.

Akan tetapi, nampaknya lelaki berperawakan tinggi besar itu tak ingin ambil pusing. Sebagian akal pikirannya lebih memilih untuk tetap berprasangka baik tentang apapun yang akan terjadi nantinya. Mungkin, ibunya bersikap demikian karena beliau sudah sangat merindukan anaknya. Dan sebagai anak, sudah barang tentu Angga memaklumi hal itu.

***

Maaf yaa kelamaan update-nya...

Jangan lupa vote+comment kawan😉

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang