12. Kejutan Spesial di Hari Besar

7K 390 1
                                    

"Aduh, Ra! Buruan, kita udah telat nih!" cerocos Kiran sambil berteriak panik di jok belakang motor milik Rara. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat pundak temannya.

"Iya! Ini juga udah buru-buru! Kita tuh kejebak macet, Ran, lagian kenapa sih lo nggak ikut sama mami papi lo aja!" teriak Rara setengah menggerutu. Kedua tangannya bergetar pelan. Gadis itu tampak tak lagi memperhatikan make up-nya yang sudah kelewat luntur, kebayanya yang sudah kusut semrawutan, atau sanggulnya yang sudah acak-acakan tak karuan. Keringat dingin mengucuri pelipisnya. Hatinya berkecamuk hebat. Berkomat-kamit memohon supaya mereka bisa datang tepat waktu.

Keduanya memang sepakat mendatangi hari wisuda menggunakan sepeda motor. Tadinya Rara hanya ingin datang seorang diri menuju kampus menggunakan motor kesayangannya, namun ternyata teman satu kostnya memaksa ikut bersamanya, ketimbang datang bersama kedua orang tuanya. Dan celakanya, keduanya bangun terlambat yang kemudian menjebaknya dalam kemacetan panjang khas ibukota.

Suara klakson kendaraan makin terdengar memekakkan telinga. Membuat gadis itu semakin gerah. Sudah berulang kali dirinya menunjukkan ekspresi tak bersahabat di balik wajah cantiknya. Seiring dengan kondisi hatinya yang gundah gulana. Membuat para lelaki di pinggir jalan mengurungkan niat mereka hanya untuk sekedar menggoda.

Lagi, Rara melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya. Entah sudah yang keberapa kali gadis itu mencuri pandang dengan benda berwarna silver tersebut. Entahlah, tak terhitung jumlahnya.

Rara menarik nafas panjangnya. Lima belas menit lagi acara akan dimulai. Sementara kedua telinganya terus memanas menahan kesal akibat sahabatnya yang tak kunjung berhenti bicara.

OOO

Deru mesin Scoopy berwarna feminim mendarat mulus di lahan parkir gedung rektorat kampus. Kedua gadis manis dengan kebayanya yang serba merah jambu itu cepat-cepat merapikan riasan dan penampilan mereka sebelum masuk ke dalam gedung. Rupanya benar dugaan mereka. Gedung berwarna putih itu kini sudah dijejali oleh ratusan bahkan ribuan mahasiswa beserta sanak saudara mereka.

Omong-omong tentang keluarga, bagaimana dengan keluarga Kirana dan Rara? Ah, keduanya sudah barang tentu mengundang sanak saudara mereka untuk menyaksikan hari pengesahan keduanya menyandang gelar sarjana. Namun, masing-masing anggota keluarga mereka sudah sampai lebih dulu ke gedung tersebut.

"Ayo masuk, Ran!"

Gadis bernama Rara itu menarik pergelangan tangan sahabatnya. Memaksanya untuk berjalan tergesa memasuki gedung. Suara mikrofon dari seorang MC sudah terdengar mendengung di rongga telinga mereka. Tapi, gadis itu sama sekali tak mengacuhkannya. Biar saja keduanya datang terlambat. Better late than never, right?

Namun, langkah kaki keduanya seakan terhenti begitu saja kala ribuan pasang mata tiba-tiba tertuju ke arahnya. Kedua mata Rara terbelalak lebar saat dirinya menangkap getaran suara MC menyebut namanya.

"Nah, berhubung ananda Elvira sudah hadir di tengah-tengah kita, alhamdulillah akhirnya kita bisa langsung memulai acara intinya. Untuk ananda Elvira Claudina Soewirdjo, dimohon untuk segera naik ke atas panggung," ucap sang MC yang baru kali ini diketahui adalah Fathia Khairunnisa, mahasiswi semester lima Fakultas Sastra Indonesia.

Kemudian, suasana mendadak hening kembali. Para hadirin terduduk takzim menunggu sang gadis melangkahkan kaki menuju altar. Baik Rara maupun Kirana, keduanya sama-sama berdiri mematung di ambang pintu masuk gedung rektorat. Seolah tak percaya dengan apa yang didengarkannya barusan.

"S-saya?" tanya Rara memastikan. Gadis itu bertanya demikian sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri. Kedua matanya masih membelalak lebar saking terkejutnya.

"Iya, dimohon untuk segera menaiki panggung," jawab Fathia dengan aksen sundanya yang cukup kental.

Setelah bergelut dengan sekelumit perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, akhirnya gadis itu memutuskan untuk melangkah. Sementara Kirana sudah berjalan cepat mendatangi rekan-rekannya yang sudah berjejer rapi di barisan kursi tengah.

"Bapak dan ibu sekalian, marilah kita sambut ananda Elvira Claudina Soewirdjo, mahasiswi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Biologi, peraih IPK tertinggi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta tahun 2016!"

Sorak sorai para hadirin memenuhi sesak di udara. Beragam tepukan tangan meriah membumbung di penjuru ruangan. Mengiringi langkah kaki Rara yang bergerak mendekati panggung. Rara merasa shock tiba-tiba. Dirinya sama sekali tak mengetahui tentang hal tersebut sebelumnya. Bahkan, di salah satu sudut ruangan gedung, sepasang suami istri begitu terhanyut dalam suasana mengharu biru. Perempuan setengah baya yang tak lain adalah ibunda Rara tentu tak bisa lagi membendung tangis harunya mengetahui anak gadis mereka tumbuh menjadi sosok yang berhasil.

Rara POV

Kedua mataku menyapu setiap sudut ruangan bernuansa putih yang kini sukses ditapaki kedua kaki jenjangku. Toga hitam yang kini menyelimuti tubuh mungilku serasa ringan semampai menghadapi kenyataan bahagia yang kini membentang luas di hadapanku. Seulas senyum terus mengembang di kedua sudut bibirku. Mengekspresikan kebahagiaan yang tiada terkira.

Dan, di sini lah aku berada. Di atas panggung rektorat kampus yang sudah lama kuimpi-impikan. Segulung kertas penghargaan yang diberikan sang rektor tergenggam erat dalam kepalan tanganku. Pikirku masih terbayang-bayang jelas tentang bagaimana Pak Mawardi menjabat erat tangan kananku. Memberi ucapan selamat atas prestasiku yang terdengar dadakan ini.

Berjuta pasang mata tertuju ke arahku. Beberapa kali kudengar teriakan bahagia dari teman-temanku yang sungguh menyayangiku. Kedua mataku berkaca-kaca melihat respon mereka yang teramat luar biasa bagiku.

Kuucap kata penutup untuk mengakhiri pidato singkat yang kulakukan secara improvisasi alias dadakan. Meski begitu, aku bersyukur bicaraku lancar-lancar saja dalam pidato tersebut.

"Sekian dari saya, kurang lebihnya saya mohon maaf. Sekali lagi, terimakasih kepada kalian yang sudah banyak mendukung saya. Mama, Papa, terimakasih atas segala dukungan moril maupun materil, juga doa yang tak pernah usai dikucurkan," air mataku luruh begitu saja. Aku terisak tangis bahagia. Tak kuhiraukan lagi make up yang memang sudah sedari tadi semrawutan. Kuseka air mataku pelan. Hatiku makin tercenung haru tatkala kulihat Mama berulang kali menyusut air mata harunya.

Kukembangkan senyum di kedua pipi tirusku. Untuk yang terakhir kalinya, kuucapkan salam penutup untuk mengakhiri pidato singkatku. Tepuk tangan meriah memenuhi sesak di udara. Kuturuni anak tangga kemudian mulai menghambur ke arah kedua orang tuaku. Kupeluk keduanya erat. Mama mengecup pipiku berulang kali. Tak kuasa aku menahan air mata di pelukan hangat keduanya.

Kusalami tangan keduanya sebagai tanda baktiku kepada mereka. Lantas, kedua pasang mataku tak sengaja menangkap sosok pria berbadan tinggi tegap terduduk di kursi belakang kedua orang tuaku. Lelaki itu, ya, siapa lagi kalau bukan Angga. Dahiku mengernyit keheranan dibuatnya.

Ah, mau apa lagi dia?

***
Alhamdulillah bisa update lagi. Maafff karena author update-nya jam segini karena dari tadi sibuk berkutat dengan tugas-tugas sampe akhirnya lupa kalau sebelumnya saya ada janji sama salah satu readers disini buat cepet-cepet update. Sekali lagi, maaf yaaa🙏

Oh ya, untuk malam ini (udah pagi sih) cuma bisa update segitu dulu aja, tapi insya Allah besok sore/malam aku update lagi lanjutannya. Buat bonus lah yaaa😅

Oke gais, happy reading. Jangan lupa vomment yaa~

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang