4. Let's Talk About Jodoh

10.2K 476 7
                                    

Jalanan ibu kota tak pernah absen soal kemacetan. Kendaraan-kendaraan berbagai macam jumlah roda lalu lalang kesana kemari. Kemacetan parah pun tak terhindarkan. Bahkan beberapa aparat kepolisian yang mengatur lalu lintas pun tak lantas membuat situasi menjadi kondusif kembali lantaran merasa kewalahan dengan pengguna lalu lintas yang kian tak disiplin.

Dan karena kemacetan tersebut, taksi yang ditumpangi Rara dan Kiran terpaksa berjalan merayap-rayap. Tersendat-sendat dihimpit oleh beberapa jenis kendaraan dengan asapnya yang mengepul-ngepul. Tak sedikit dari mereka yang membunyikan klaksonnya hingga nyaris memekakkan telinga. Jerit kemarahan dari para sopir angkutan umum pun tak terelakkan. Semakin menambah satu derajat tingkat frustasi yang dialami oleh gadis manis sentimentil semacam Rara.

Gadis itu terduduk resah. Keringat dingin sedari tadi mengucur deras di pelipisnya, seiring dengan laju taksi yang tak kunjung berubah. Tetap stagnan. Seperti menit-menit yang lalu.
Sekali lagi gadis itu melirik arloji di tangannya. Pukul delapan lewat dua puluh menit. Rara menarik nafas pelan. Mau sampai kapan ia harus terjebak di dalam taksi? Padahal, hari ini ujian akhir semester tengah dilangsungkan. Bayang-bayang wajah Bu Arin, dosen yang terkenal killer dan bersikap intoleran terhadap wajah para mahasiswa yang memelas meminta belas kasihan itu tiba-tiba berkelebat di dalam pikirannya. Membuatnya bergidik ngeri seketika.

"Woy! Maju, dong!"

Lagi, dan lagi. Suara-suara kegaduhan yang sanggup membakar gendang telinga itu lagi-lagi terdengar. Hatinya bersungut-sungut kesal. Tak bisakah mereka berpikir jernih? Toh bukan hanya mereka saja yang sedang terburu-buru!

"Aduh, gimana nih, Ra? Kita udah telat banget!"

Rara memutar otak. Mencoba mencari celah di tengah-tengah pikirannya yang tengah kacau. Bagaimana kalau ia berlari saja? Toh, jarak dari tempatnya saat ini tak terlalu jauh dari kampus.
Kirana melirik jam tangannya sambil bernafas tak beraturan. Lagi-lagi wanita itu mendumel pada sahabatnya yang juga sama risaunya.

"Duh, lagian kenapa lo nggak bawa motor lo aja sih? Kalau gitu kan, kita bisa nyelap-nyelip!" gerutunya. Rara merengut kesal.
"Yee, motor gue masih di bengkel! Kan lo tahu sendiri, akinya soak!" cerocosnya tak mau kalah. Kedua perempuan itu kesal sendiri-sendiri.

Sedang mencoba menyerah dengan keadaan, tiba-tiba sebuah ide melintas dalam pikiran Rara. Tak ayal, gadis itu tiba-tiba berkata meminta diturunkan.

"Pak! Kita turun di sini saja," ujar Rara tiba-tiba. Kiran membelalakkan mata.

"Astaga, Ra! Kita mau jalan gitu sampai kampus? Nanti yang ada malah makin telat, dong!" gerutunya kesal. Rara memicingkan matanya.

"Kalau kita masih di sini, yang ada kita bakalan sampai di kampus zuhur nanti." Ujarnya menjelaskan.

Wajah ayu Kiran berubah panik. "Terus, kita harus gimana dong Ra?"

"Ya lari, lah!"

Tanpa ba-bi-bu lagi, Rara segera menarik pelan pergelangan tangan sahabatnya keluar taksi. Lalu mengulurkan tangan kanannya untuk membayar argo taksi. Setelah dirasa sudah tidak ada keperluan lagi, gadis itu mengajak sahabatnya untuk berjalan terburu-buru–bahkan bisa dibilang, mereka setengah berlari menuju kampus.

"Aw!"

Tiba-tiba, seorang pria yang juga tengah berjalan tergesa tak sengaja menabrak tubuh Rara. Jadilah gadis itu jatuh tersungkur bersamaan dengan berkas-berkas ujiannya yang tercecer kemana-mana. Gadis yang memang sejak awal sudah berang, kini makin tersulut lah emosinya.

Namun, untungnya, pria itu segera menyadari kesalahannya. Ia berbalik, lalu mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu berdiri.

"Kamu nggak pa-pa?"

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang