22. Hanya Sandiwara

7.3K 388 15
                                    

Malam semakin larut. Bara api seakan membuncah ruah di seluruh penjuru ruangan. Lilin-lilin aromaterapi menambah syahdunya malam berhiaskan romantisme rajutan asmara dua insan manusia dalam ikatan suci pernikahan. Bulan purnama bersinar terang, cahayanya berpendar memberi setitik pelita dalam perhelatan api asmara yang tak kunjung padam. Gadis itu mengerang pelan. Bersatu dalam desahan nikmat tak tertahankan. Dekapan hangat sosok pria yang tubuhnya bagai selimut tebal seakan menjadi suaka menenangkan dalam dirinya. Keduanya berpelukan erat. Melepas nafsu dan syahwat yang sama-sama menggelora.

"Aaaaaa!"

Rara refleks menjerit tatkala mengetahui suaminya tertidur sambil memeluk erat tubuh mungilnya. Gadis itu mengumpat kesal. Bukankah tadi malam ia mengisyaratkan kepada lelaki itu agar tak berbuat macam-macam?

Anggara membelalakkan kedua matanya. Kaget setelah mendengar jeritan yang terdengar nyaring di kedua telinganya. Lelaki itu terlonjak kaget. Lalu mengusap pelan wajahnya tatkala dilihatnya sang istri bergidik ketakutan sambil menjauh pelan dari tubuh besarnya.

"Mas ngapain peluk-peluk akuu!" erangnya. Masih trauma atas apa yang dilakukan suaminya itu.

Anggara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lelaki itu tersenyum-senyum sendiri saat kembali membayangkan mimpi fantastis yang dialaminya semalam. Mimpi macam apa itu? Menghabiskan malam pertama pernikahan mereka dengan menikmati indahnya surga dunia. Ah, tapi sayangnya, itu cuma terjadi di alam mimpi. Bukan kenyataan.

Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan Angga. Kedua sejoli itu memusatkan pandangan mereka ke arah pintu.

"Biar aku saja," ucap Angga sambil beranjak menuju pintu kamar pengantin mereka. Dilihatnya sosok sang mertua berdiri di balik pintu dengan perasaan cemas.

"Nak, kalian kenapa? Tadi kok kayak ada suara orang menjerit gitu, ya?" tanya Bu Marini. Rara yang melihat sosok kedua orang tuanya lantas turut beranjak menghampiri mereka. Gadis itu melayangkan senyum malunya.

"Ah, nggak pa-pa kok, Ma. Anu, itu... em, tadi..."

Namun, belum sempat Rara memberi kejelasan, sang ibu buru-buru memotong ucapannya. Memberi kesimpulan sendiri atas apa yang didengarnya barusan.

"Oh, biasa lah, Pa, pengantin baru." Ujar Bu Marini sambil terkikik renyah. Pak Andre tersenyum menimpali. Pernyataan ibundanya barusan membuat Rara merasa keki. Sementara Angga hanya mengusap tengkuknya sambil tersenyum malu-malu. Ada-ada saja perkataan ibundanya barusan. Padahal kenyataannya tidak seperti yang mereka pikirkan.

OOO

"Semuanya sudah siap?" tanya Bu Galuh sambil membereskan koper keberangkatan mereka menuju kota Jakarta, tempat resepsi akan digelar. Rara dan Angga mengangguk pelan.

"Sudah, Bu. Tinggal berangkat aja," jawab Anggara menimpali. Lelaki muda tersebut sekali lagi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan tepat pukul lima subuh. Sebentar lagi pesawat yang membawa serta sanak keluarga mereka akan lepas landas menuju ibukota. Sementara menurut kabar, para kerabat serta sanak saudara lainnya yang tinggal tak jauh dari kediaman mempelai wanita sedang dalam perjalanan menuju bandara. Mereka semua tentunya tak ingin ketinggalan untuk menyaksikan langsung upacara pedang pora yang akan dilangsungkan pukul sembilan nanti.

"Ya wis, ayo kita berangkat."

OOO

Suara berdengung mampir di kedua telinga Rara tatkala pesawat yang mereka tumpangi akhirnya turun menapaki kota Jakarta. Cuaca cukup terik kendati hari masih teramat pagi. Dan seperti biasa, jalanan sudah mulai ramai dengan beragam kendaraan yang lalu-lalang.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang