33. Cinta? Ah, Masa?

7.3K 386 7
                                    

Selama dua bulan pernikahannya, demikianlah yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga Anggara dan istrinya. Rara yang tak pandai memasak, namun siapa disangka memiliki daya juang yang cukup lumayan. Bayangkan, setiap pagi langkah-langkah kecil sang istri berjalan riang memasuki dapur rumahnya. Ruangan yang kental dengan bumbu-bumbu masakan itu belakangan menjadi tempat yang sering ditapakinya. Dan, oh, tidak hanya pagi rupanya. Sebab siang dan malam pun dirinya harus berkutat dengan kompor dan percikan minyak yang menggerogoti kulitnya. Meski harus merasa perih menahan sakit, namun gadis tersebut tetap berusaha tegar menjalani kewajibannya sebagai seorang perempuan somahan.

"Ck! Ish, minyaknya nyebelin!"

Di salah satu sudut ruangan, kedua mata yang biasa tegas di lapangan itu menatap teduh sosok perempuan bercelemek merah muda. Raut-raut wajah yang biasa terlihat garang saat menghadapi satu per satu juniornya yang kena tindak itu melunak seketika. Pesona sang istri memang sangat tercipta ketika dirinya sibuk mengurusi bagian dapur. Apalagi ketika kedua matanya menangkap sosok Rara sedang menguncir rambut panjangnya. Memang, kata orang, perempuan akan lebih terlihat cantik saat mereka menguncir rambutnya.

Lelaki yang kini sudah berpakaian rapi dengan seragam lorengnya itu juga merasa iba ketika melihat kesulitan yang dihadapi istrinya itu. Melihat Rara yang keseringan dihantam minyak-minyak galak dan kadang juga jelaga tipis penggorengan yang tak jarang membuatnya terbatuk-batuk, lama-lama dirinya merasa kasihan juga. Lelaki itu meyakini bahwa tugas seorang istri memang berat, bahkan mungkin bisa dibilang lebih berat daripada sekedar mencari nafkah.

Sambil mengaduh kesakitan perempuan itu kembali membolak-balikkan ayam yang tengah digorengnya. Menaburi sedikit garam pada adonan tempe mendoannya, lalu kembali mengeluhkan jemarinya yang melepuh karena percikan minyak. Meski hingga saat ini masakannya belum bisa dicap 'enak', namun wanita itu tetap tak mau menyerah. Kebiasaan Bu Ilham yang suka mengirimi makanan sambil memasang wajah imut-imut manjanya di depan Angga, lama-lama semakin memotivasinya supaya cepat-cepat pintar memasak. Tak ayal, gadis itu ingin masakannya dianggap jauh lebih enak dibanding sekedar sup ayam buatan tetangganya yang rada 'aneh' itu.

"Sssh, fyuh... fyuh..." Rara meniup-niupkan jemarinya yang masih terasa nyeri itu. Tangan yang satunya lagi juga ikut-ikutan mengipas-ngipasi jemari tangan kirinya itu.

Setelah bosan berdiam diri, akhirnya Anggara memutuskan untuk berjalan mendekati sang istri. Hasrat untuk memberikan pertolongan lama-lama tak kuasa ditahannya. Naluri kelelakiannya untuk segera melindungi tulang rusuknya itu kian membelenggu batinnya. Lelaki itu menapaki langkah demi langkah ubin lantai dapur. Kemudian, Rara terlonjak kaget karena melihat suaminya tiba-tiba sudah berdiri di depan matanya.

"Sini, biar kubantu," ucap Angga. Lelaki itu menyentuh lembut jemari istrinya. Dituntunnya sang istri menuju keran air yang terletak di atas wastafel tempat mencuci piring. Meski seorang tentara, dirinya tahu betul kalau mengaliri jemari istrinya dengan air mengalir adalah langkah pertolongan pertama yang tepat. Bukan dengan mengolesi pasta gigi, kecap, atau barang-barang lain yang tak semestinya. Karena pria itu tahu bahwasanya sifat benda-benda semacam itu hanya akan mempertahankan panas, dan akan menyebabkan kerusakan kulit yang lebih parah.

Cukup lama jemari Angga membelai lembut jari jemari istrinya yang konon terluka itu. Selama hal itu terjadi, tak ada satu pun cuap-cuap yang keluar dari mulut keduanya. Keduanya bungkam. Membuat suasana kian hening kembali.

Degup jantung Angga berloncatan tak karuan. Dirinya tak kuasa menahan aliran darah yang berdesir kian derasnya. Juga denyut nadi yang kian terasa di balik permukaan kulitnya yang tipis. Kegelisahannya memuncak sampai ke ubun-ubun. Naluri kelelakian tiba-tiba membuncah ruah dalam hatinya. Setan-setan nakal sibuk membisiki kedua telinganya. Sebagai pria normal, tentu saja ia merasa nafsu-nafsu liarnya kian membara setiap dirinya berdekatan dengan Rara. Gadis yang hingga kini masih perawan itu kerap kali merasuki alam-alam kebathinannya. Memangkas habis akal budinya dengan kecantikan khas yang kerap kali terlihat bagai lambaian berahi di kedua matanya.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang