30. Dek, Aku Pulang

8.3K 459 60
                                    

Mas Angga?

Lelaki yang sudah satu bulan nangkring dalam pikiranku itu tersenyum manis. Senyum yang diam-diam kurindukan dalam setiap tidur malamku. Eh, apaan, sih?

"Kalau suami ngucap salam, dijawab dong salamnya," tegurnya sambil melangkah pelan mendekatiku. Ya ampun, aku lupa. Mungkin karena saking terkejutnya.

"Wa-wa'alaikumsalam," jawabku terbata. Mas Anggara menyunggingkan senyum miringnya. Memamerkan sederetan gigi yang putih berseri di balik kedua bibirnya. Senyum pepsodent. Duh, kacau deh hatiku. Biarpun pada akhirnya ia kembali pulang menemuiku, tetap saja aku merasa kesal dibuatnya. Duh, satu bulan nggak ngasih kabar, gitu loh?!

"Rajin benar istriku ternyata. Gimana? Kangen ya, sama aku?" godanya sambil terus tersenyum tanpa dosa. Huuh, makin keki aku jadinya.

Aku merengut kesal. Kukerucutkan bibirku saking kesalnya. Tak tahukah dia, betapa kacaunya diriku selama satu bulan ke belakang? Nggak ngasih kabar apa-apa pula.

"Ih, Mas nyebelin! Lagi kacau kayak gini masih bisa aja ngajak bercanda. Katanya mau ngasih kabar, tapi mana? Satu bulan aku nunggu. Tapi kamu seakan-akan lupa sama aku. Mas, kamu tuh nggak tahu ya gimana kacaunya aku selama kamu nggak ada! Ternyata kamu tuh sama aja ya, kayak mereka-mereka yang udah nyakitin hati aku. Baru juga nikah, udah ditinggalin gitu aja! Huuh, jadi gini ya, rasanya nikah sama kamu. Udah kayak nandatangani kontrak buat jadi janda!" cerocosku kesal. Namun, belum selesai aku bicara, Mas Anggara malah menempelkan jari telunjuknya di bibir tipisku.

"Ssst, Dek, jangan teriak-teriak di sini," ucapnya sambil melirik ke arah kananku. Refleks, aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Mas Angga barusan.

Ulala, ternyata ada tetangga usilku yang sedari tadi sepertinya gemar menontoniku dengan Mas Angga.

"Eh, izin, ada tetangga. Pagi, Bu," sapaku ramah. Bu Ilham kembali melanjutkan rutinitasnya menjemur baju. Sama sepertiku.

"Pagi juga. Cie, suaminya udah pulang, ya? Kok tadi malah dimarahin gitu, sih? Dek, kalau suami pulang itu harusnya disambut baik-baik. Eh, ini malah dimarah-marahi gitu. Nggak boleh, nanti kualat lho, Dek," cibirnya mendadak sewot. Kesal namun tak ingin kutunjukkan. Sengaja, daripada pecah perang dunia ketiga. Huh, sabar, Ra... jadi junior itu harus banyak ngalah.

Mendadak aku gugup seketika. Berbeda dengan suamiku yang kini malah terdiam bingung. Aku memutar otak. Dengan segera kumanis-maniskan tingkahku memperlakukan suamiku.

"Eh, enggak kok, Bu. Saya nggak marahin suami saya. Iya kan, Mas? Nih, buktinya, aduh, aku kangen banget deh sama kamu, Mas..." ucapku kembali bersandiwara di depan tetanggaku yang usil itu. Kupeluk erat tubuh atletis suamiku sambil bergelayut manja di lengan kekarnya. Mas Angga hanya tersenyum kikuk. Padahal sedari tadi kutahu Mas Angga menertawai tingkah anehku ini.

"Em, ya udah, kalau gitu kami permisi dulu ya, Bu? Assalamu'alaikum," pamitku. Ah, sudahlah. Aku tak ingin berlama-lama di luar. Atmosfirnya sudah berubah mencekam.

"Ah, akhirnya sampai juga di rumah. Kangen sekali aku tidur di kasur, Dek," ucap suamiku sambil menutup kembali pintu rumah. Aku terus menekuk wajahku sedari tadi. Tak kutanggapi ucapan suamiku barusan.

"Dek? Mukanya jangan ditekuk gitu, napa. Nggak kangen apa, sama suamimu yang ganteng ini?" godanya. Aku masih mengerucutkan bibirku sebal. Kedua tanganku terlipat di dada.

"Dek? Hei, halo..." Mas Anggara melambaikan tangannya di depan wajahku. Lagi dan lagi, tak kutanggapi perkataannya barusan. Hingga akhirnya Mas Angga menatapku heran.

"Ih, Mas jahaaat!" kupukuli dada bidangnya bertubi-tubi. Tanpa kusadari, air mata luruh begitu saja dari kedua pelupuk mataku.

Mas Anggara merengkuhku ke dalam pelukan hangatnya. Menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Aku menangis tersedu-sedu. Kutumpahkan segala perasaanku selama ditinggal olehnya. Duh, ini loh, Mas, istrimu yang menderita selama kamu nggak ada. Ditimpa nelangsa dan ditindas oleh tetangga sendiri. Hiks.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang