21. Panggilan Ibu Pertiwi

7.8K 393 17
                                    

"Dek?"

Rara memandang sosok pria tinggi tegap yang kini berdiri takzim di ambang pintu kamarnya. Wanita tersebut lantas kembali menopang dagu. Menatap sayu bunga-bunga catleya yang tertata rapi di sudut meja riasnya. Jika dirinya menikah tanpa cinta, patutkah hari ini dianggapnya sebagai hari paling bahagia seumur hidupnya?

Anggara melangkah pelan menghampiri istri malangnya. Tangan besarnya menutup pelan gerendel pintu kamar yang kini menjadi tempat peristirahatan keduanya setelah melafalkan ikrar janji setia serta menempuh beragam prosesi adat yang melelahkan. Lelaki berperawakan tinggi besar itu berjalan mendekati sang istri yang sedang gundah gulana. Kehangatan menyusupi relung-relung jiwa Rara tatkala tangan besar suaminya mengusap pelan pucuk kepalanya.

"Terimakasih ya, Dek? Kamu sudah bersedia menjadi istriku," ucapnya lembut. Rara diam tak menjawab.

Anggara menghela nafas pelan. Ikut bersedih melihat istri cantiknya terkurung dalam mirisnya kehidupan cinta. Jatuh terjerembab dalam nahasnya keterpurukan dan jurang kenestapaan. Dirinya tahu, pernikahan itu bukanlah pernikahan yang diimpi-impikan Rara. Menikah tanpa cinta bagai menjadi cobaan terberat yang harus dijalani dara manis yang masih belia tersebut. Oleh karenanya, Anggara mati-matian menahan hasrat dan gejolak syahwat yang sedari tadi berkecamuk dalam nalurinya sebagai seorang lelaki. Apalagi, kini ikrar suci pernikahan telah mengikat keduanya sebagai pasangan suami-istri yang sah di mata negara dan agama. Seharusnya, tidak ada lagi yang menjadi pembatas ataupun penghalang jalinan cinta yang terjalin di antara keduanya. Namun, Angga paham akan apa yang dirasakan istrinya saat ini. Sebagai seorang suami yang baik, dirinya tentu saja takkan memaksakan kehendak untuk membuncahkan nafsu syahwatnya. Tidak. Tidak untuk saat ini. Dirinya tak ingin menyakiti sang istri lahir dan batin. Pernikahan penuh sandiwara ini sudah cukup menggoreskan luka di hati kecilnya. Lelaki tersebut ikhlas menunggu hingga saat yang membahagiakan tiba di tengah-tengah bahtera rumah tangganya. Saat dimana Tuhan menganugerahkan cinta di antara keduanya. Ya, sebab sejatinya cinta yang murni terlahir tanpa adanya keterpaksaan.

Tiba-tiba, Rara mengedikkan bahunya pelan. Mencoba menjauhkan tangan lembut sang suami dari tubuh mungilnya. Tanpa dikomando, gadis itu beranjak pergi tanpa bicara sepatah kata pun. Anggara mendesah pelan. Mengelus dada melihat reaksi sang istri yang masih saja menutup hatinya.

Anggara melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi. Mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat isya. Seraya memanjatkan doa kepada sang Illahi agar dibukakan pintu hati sang istri untuknya.

Dikenakannya setelan koko berwarna hitam dengan sarung panjang yang berwarna senada. Sambil menggelar sajadah, lelaki itu berniat menunggu sang istri agar bisa sholat bersamanya. Dan benar saja, tak lama kemudian, gadis berparas rupawan itu akhirnya kembali setelah mengambil segelas air limun.

"Dek, sholat isya dulu, yuk?" ajak Angga. Menanggapi ajakan suaminya, Rara hanya menatap enggan.

"Duluan aja," ucapnya. Anggara menaikkan sebelah alisnya.

"Lho, emangnya kamu nggak mau aku imami?" tanyanya. Pertanyaan tersebut refleks menghentikan langkah kaki Rara. Gadis itu menoleh pelan. Lalu berdecak sebal lantaran akhirnya ia terpaksa mengiyakan ajakan sang suami. Ya udahlah, daripada kualat.

"Yaudah deh, iya-iya!"

Tanpa ba-bi-bu lagi, gadis itu segera menghambur memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu. Anggara tersenyum skeptis melihat tingkah polos sang istri yang tak bisa menolak ajakannya.

OOO

"Assalamu'alaikum waramatullah..." ucap lembut Angga mengakhiri sholat isyanya. Lelaki itu menoleh ke arah wanita yang diimaminya. Mengulurkan tangan tanda menunggu sang istri menyalami tangannya.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang