19. Jelang Pernikahan

6.7K 404 17
                                    

"Niat ingsun ora mecah kendi nanging mecah pamore anakku wadon..."

Byuur! Riak air begitu derasnya membasahi sekujur tubuh Rara yang kini hanya terlilit kain batik cokelat. Ronce melati menjuntai panjang menyelubungi sanggul rambutnya yang lumayan besar. Wanita itu terduduk di atas tikar pandan, bersamaan dengan Angga yang juga terduduk takzim di sisi kanannya.

Rara menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan sengatan air kendi yang terasa dingin menusuk kulit. Gadis itu sedikit menggigil kedinginan. Jauh di dalam hatinya, gadis itu merasa jatuh ke lembah keterpurukannya. Ia merasa heran dengan kedua orang tuanya. Untuk apa mereka melaksanakan ritual demi ritual melelahkan sekaligus merepotkan ini? Toh keduanya menikah bukan berlandaskan cinta. Setidaknya, itulah persepsi yang ada di benak Rara. Namun setelahnya, gadis itu sadar. Baik keluarganya maupun keluarga Angga, keduanya sama-sama mencintai budaya. Hingga setitik tradisi pun tak boleh dilewatkan dalam detik demi detik pelaksanaan upacara pernikahan mereka.

Pinisepuh beserta kedua orang tua dari calon pengantin bergantian menyirami sekujur tubuh atletis Angga dengan air kendi. Sama halnya seperti Rara, pria itu juga hanya mengenakan kain batik yang melilit tubuh bagian bawahnya. Secara teknis, lelaki itu bertelanjang dada. Menampilkan otot-otot kekar serta perut kotak-kotak bak roti sobek yang banyak menyita perhatian orang di sekelilingnya. Diam-diam, Rara sesekali mencuri pandang pada lelaki di sebelahnya. Wanita itu bergidik ngeri melihat tubuh atletis calon suaminya yang sudah serasa mirip Hulk itu.

Pyar! Kendi yang akhirnya kosong tak terisi air itu akhirnya dipecahkan oleh pinisepuh. Pertanda bahwa prosesi siraman yang membuat Rara tak kuasa menahan dingin itu akhirnya selesai juga.

Selesai prosesi siraman, acara dilanjutkan dengan adol dhawet, alias menjual dawet. Prosesi tersebut dilakukan oleh Bu Marini selaku ibunda Rara, sambil dipayungi oleh sang suami. Pecahan genting diberikan para tamu hadirin sebagai alat transaksi jual beli dawet tersebut. Sementara, Rara mulai membersihkan dirinya yang sudah basah kuyup. Lama kelamaan dirinya merasa jenuh karena harus bersandiwara di depan para tamu undangan yang hadir pada hari ini. Berpura-pura bahagia di hadapan semua orang, bersanding mesra menghadapi beragam prosesi yang mungkin akan terasa membahagiakan bila keduanya menikah karena cinta. Para tamu hadirin mungkin akan mengira kedua calon mempelai menikah karena saling mencintai. Padahal, mereka tak pernah mengetahui kenyataan pahit yang sebenarnya. Sang mempelai pria mungkin mencintai sang wanita, namun tidak sebaliknya.

"Nak?"

Rara refleks menoleh. Dilihatnya sang bunda di ambang pintu kamarnya. Wanita yang biasa dipanggilnya dengan sebutan 'mama' itu tersenyum cerah.

"Apa, Ma?" tanya Rara halus. Namun tak terlihat sedikit pun senyum di wajahnya yang sudah cantik merona. Riasan paes ageng di wajah tirusnya semakin menambah kesan cantik nan anggunnya perempuan Jawa. Sesaat, gadis itu merasa seperti dirinya hendak melangsungkan pernikahan saat ini juga. Padahal, acara ijab qabul akan dilangsungkan besok pagi.

"Siap-siap, ya? Sebentar lagi acaranya akan dimulai," ucap Mamanya pelan. Rara tersenyum sambil mengangguk pelan.

Pintu kamar kembali tertutup. Wanita itu kembali mematut dirinya di depan cermin. Penampilannya boleh saja sempurna bak Dewi Widodari yang baru saja turun dari langit. Karena seperti itulah dirinya seharusnya di prosesi Midodareni yang sebentar lagi akan diselenggarakan itu. Tapi, kenyataannya tidak sesempurna itu. Kondisi hatinya merana bak baru saja dihujani ribuan meteor. Berusaha menelan kenyataan bahwa esok hari, dirinya sudah resmi menjadi milik orang lain. Menjadi dirinya yang lain. Yang berbeda. Aroma-aroma kebebasan takkan berpihak padanya lagi. Ia takkan bisa lagi meluangkan waktunya hanya untuk sekadar berhaha-hihi ria di sudut-sudut kafe. Takkan mampu bersenang-senang ria kembali menghabiskan isi dompetnya di butik-butik terkenal. Membelanjakan seluruh isi dompetnya hanya untuk memuaskan hasrat dan jiwa mudanya yang masih menggelora.

Kini, gadis bernama lengkap Elvira Claudina Soewirdjo itu duduk termangu menatap kosong pantulan bayangan dirinya di depan cermin rias. Tak ada satu pun orang yang sanggup bersuara. Keheningan dan kesunyian dengan setia menemani gadis itu di penghujung kesedihannya.

Rara beralih menghampiri jendela kamarnya. Menatap nanar gugusan bintang yang bertabur indah menghiasi langit Jogja di malam Minggu yang muram ini. Bersamaan dengan eleginya yang serasa tak pernah berujung, gadis itu kembali hanyut dalam imajinya. Memandang jauh ke depan, kepada hal-hal yang kemungkinan akan terjadi padanya bertahun-tahun yang akan datang. Mengandung, menimang bayi, menjadi ibu. Cepat atau lambat, tanggung jawab yang sedemikian besarnya itu akan dihadapi dirinya sendiri. Semakin mempersempit keadaannya untuk meraih kebebasan.

Namun, apapun itu, seharusnya Rara bisa lebih bijak dalam berpikir. Kini, gadis itu sudah beranjak dewasa. Di penghujung masa mudanya, memang sudah sepatutnya ia mempersiapkan diri untuk selangkah lebih maju menuju gerbang kehidupan rumah tangga. Kebebasan tidak seharusnya kembali menggelayuti ruang pikirannya. Mengingat bahwa dirinya sudah selayaknya bisa bersikap lebih dewasa.

"Ayo, Nak. Ikut Mama dan Ibu ke depan," ajak Bu Marini sambil kembali membuka pintu kamar anak gadisnya. Rara menoleh pelan. Bersikap pasrah saat kedua wanita tersebut mulai berjalan menuntun dirinya keluar kamar. Kembali melanjutkan prosesi adat istiadat yang serasa tak pernah ada ujungnya. Berbeda dengan prosesi-prosesi melelahkan sebelumnya, pada prosesi ini sang gadis hanya harus duduk terdiam sambil disuapi makanan oleh ibundanya, untuk yang terakhir kalinya. Mengingat bahwa dirinya sudah akan menjadi tanggung jawab suaminya besok pagi.

Semua orang terkesima dengan kecantikan sang Rara yang sudah secantik Dewi Widodari. Semuanya, tak terkecuali Angga yang sejak tadi pagi memang sudah berada di kediaman calon istrinya. Karena apalagi jika bukan karena prosesi adat yang harus dijalani keduanya. Di antara sekian banyaknya anggota keluarga yang hadir, mungkin hanya lelaki itu lah yang paling mengerti perasaan calon istrinya saat ini. Parasnya memang cantik, namun semua itu hanya kecantikan semu. Dirinya tahu betul bahwa kondisi dan suasana hatinya saat ini tak secantik paras jelitanya. Dan tak ada yang bisa dilakukannya selain menyimpan ladang penuh rasa bersalah jauh di dalam hatinya. Teramat sedih mengetahui bahwa dirinya lah penyebab keterpurukan gadis itu saat ini. Namun, apa mau dikata, bila keduanya justru memang telah ditakdirkan Tuhan untuk bersama.

***
Malem gaiz!

Gimana, gimana? Makin seru gak ceritanya?

Jangan lupa vomment ye gais, satu vote dan komen dari kalian sangat bermakna bagi author. Cieilah.

Okedee, selamat bermalam Minggu ria. Untuk yang masih jomblo, nggak usah ngerasa kesepian. Karena ada author yang siap menemani dan menghibur kalian. Aseeq.

Segitu dulu ya update-an dari author untuk malam ini. Bertemu lagi di update-an author yang selanjutnya. Babay!

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang