36. Ketika Kamu Marah

9.4K 543 91
                                    

Sesuai dgn permintaan readers, author yang baiqq hati ini kasih bonus part yaaaa!

Barusan baca-baca komen jadi bikin senyum senyum sendiri wkwk. Maaf belum sempat dibalas satu per satu, insya Allah nanti author balas komentar klean satu satu yaaa😊

Oke deh, happy reading! Jgn lupa vomment hehe:)

***

Senja menggulung di langit ibu kota. Semenjak kejadian ditegur danyon tadi siang, Anggara berubah menjadi sosok yang pendiam. Tak usil dan suka menjahili Rara seperti biasanya. Bukan lagi lelaki yang pandai melukis senyum di hadapan istrinya. Bukan lagi sosok lelaki yang terkadang pandai membuat hati Rara terguncang-guncang dengan tingkah manisnya.

Ketika berhadapan dengan Rara, pria itu banyak menghindar. Menghindar dari tatapan penuh tanda tanya yang kerap kali terbaca dari sorot mata istrinya. Pun ketika dirinya diajak berbicara, Anggara berubah menjadi sosok angkuh yang dingin. Menjawab sekenanya, seolah tak ingin meluangkan waktunya sebentar hanya sekedar untuk berbasa-basi semata. Upaya itu rupanya sukses membuat Rara bingung bukan kepalang. Apa ini tentang dirinya yang tadi siang berbuat khilaf hingga memalukan nama baik suaminya? Apa ini tentang dirinya yang telah mencoreng moreng martabat sang suami di hadapan Pak Irsyad dan istrinya?

"Mas, makan malam dulu," ujar Rara mengingatkan. Eh, mengingatkan sekaligus mengajak sih, sebenarnya. Pasalnya, berpiring-piring makanan telah disiapkannya di atas meja makan. Perutnya pun sudah keroncongan sedari tadi minta diisi. Sekarang tinggal menunggu Anggara untuk ikut serta saja.

Lelaki bertubuh atletis itu meletakkan sejenak buku yang sedang dibacanya. Sambil melipat kacamata bacanya, Anggara beranjak pergi melewati sang istri yang tengah berdiri di ambang pintu kamar. Langkah kaki tegapnya berjalan santai menuju ruang makan tanpa menggubris ucapan sang istri sama sekali.

Rara masih diam terpekur di ambang pintu. Sembari menatap punggung suaminya yang kini bergerak kian menjauh dari pandangannya, gadis itu merutuk pilu. Entah mengapa hatinya terasa sakit saat diacuhkan begitu saja. Tak digubris, seolah lelaki itu tak menganggap dirinya ada. Hei, tunggu, perasaan semacam apa itu? Entahlah, bahkan, Rara sendiri pun tak lantas menyadarinya. Jika ia tak cinta, mengapa ia bisa merasakan sakit hati atas sikap dingin suaminya? Kalau tak cinta, bukankah seharusnya Rara tak usah repot-repot memikirkan bagaimana sikap suaminya saat ini? Tapi, yang dirasakannya kini justru bertolak belakang dengan apa yang menjadi momok pikirannya. Atau mungkin, perasaan cinta itu mulai tumbuh diam-diam di dalam hatinya?

"Hari ini aku masak menu baru, Mas. Udang asam pedas, tempe mendoan sama cah brokoli. Tadinya sih, aku mau masak—"

"Udah, ayo makan. Nggak usah banyak bicara."

OOO

Rara POV

Aku tertegun mendengar Mas Angga berkata demikian padaku barusan. Dan entah mengapa, hatiku kian terasa sakit bagai pecah berkeping-keping saat ini. Bila bisa diumpamakan, rasanya ibarat seperti anak panah yang melesat kencang lalu mendarat tiba-tiba di hati kecilku. Membuat setitik luka yang terasa kian dalam. Eh, ngomong apa sih aku ini. berlebihan banget. Ya intinya itu deh, aku juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba aku jadi mellow gini. Duh, kok sakit ya?

Tanpa mencela maupun mengkritik perkataannya barusan, aku menduduki kursi makan yang letaknya saling berseberangan dengan dirinya. Lelaki itu masih memasang wajah cueknya. Tak nampak sedikit pun senyum yang biasanya selalu terpatri di wajahnya ketika sedang bersamaku. Tak kudengar sedikit pun godaan jahil yang biasanya terlontar dari bibir manisnya. Hei, kenapa sih, suamiku ini? Sebegitu kecewanya kah ia padaku? Tapi, bukankah masalah tadi siang sudah selesai? Baik aku maupun tetanggaku yang suka usil itu, kami sama-sama sudah merasa baikan bahkan sudah saling bermaafan. Lalu, mengapa suamiku masih sedemikian marahnya padaku? Apa kekhilafanku tadi siang sudah benar-benar merenggut kewibawaan dirinya?

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang