40. Positif

7.7K 420 33
                                    

"Istri bapak saat ini positif sedang hamil. Kandungan istri bapak diperkirakan sudah memasuki minggu kelima. Silakan konsultasikan hal tersebut dengan dokter kandungan."

Anggara masih diam terpekur seolah tak percaya dengan kenyataan yang tengah dihadapinya saat ini. Perkataan dr. Arief barusan ibarat guntur yang menggelegarkan hatinya. Istrinya hamil? Itu berarti, cepat atau lambat, statusnya akan berubah menjadi seorang ayah?

"Sekali lagi, saya ucapkan selamat ya, Pak."

Perlahan-lahan, seulas senyum mulai mengembang di kedua sudut bibir Anggara. Hatinya melambung tinggi. Begitu mensyukuri pemberian Tuhan yang tiada terkira.

"Terimakasih, Dok! Terimakasih!" ucap Anggara sambil menjabat erat kedua tangan dokter yang baru saja menangani istrinya. Lelaki itu menangis haru. Raut wajahnya menyiratkan kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa. Siapa disangka, pernikahan yang awalnya didasari dengan ikatan perjodohan semata, kini bisa berakhir bahagia dengan hadirnya seorang anak?

Terimakasih, Ya Allah, atas kemurahan Engkau telah menganugerahi kami dengan pemberian yang tiada terkira ini, ucapnya dalam hati.

***

Aku mengerjap-ngerjapkan kelopak mataku perlahan. Kepalaku masih terasa sedikit pusing, perasaan aneh juga kurasakan dari perut bawahku. Setelah kesadaranku sudah pulih betul, barulah kusadari diman diriku berada saat ini. Em, rumah sakit. Kentara jelas sekali dari bau obat-obatan yang mampir menusuk rongga hidungku. Ruangan bernuansa putih ini mengelilingi seluruh pandanganku. Eh, tunggu-tunggu. Kenapa aku bisa ada disini?

"Dek? Kamu sudah sadar? Syukurlah," ucap seorang pria yang terduduk di sebelah kananku. Pria itu, yang tak lain adalah suamiku. Badan kekarnya masih berbalut seragam loreng yang siang tadi dikenakannya.

"Ke-kenapa aku bisa ada disini, Mas?" tanyaku bingung. Sumpah, aku bingung sekali. Aku sakit, kah? Lalu, apa barusan aku tertidur lama sekali?

"Kamu pingsan tadi di rumah, Sayang," jelasnya.

Aku terdiam sejenak. Berusaha mengingat-ingat kembali tentang apa yang terjadi padaku siang tadi.

"Jawab pertanyaanku, Sayang. Kamu kenapa? Kamu sakit? Apa yang kamu rasa?"

Perlahan namun pasti, ingatanku berangsur-angsur pulih kembali. Ah, ya. Saat itu Mas Anggara begitu mendesakku dengan beragam pertanyaannya. Kondisi tubuhku saat itu memang sudah terasa tidak fit, sih. Jadi wajar saja kalau aku jatuh pingsan. Eh, tapi baru kali ini lho, aku pingsan. Kok bisa, ya? Tumbenan banget.

"Sayang," panggil suamiku. Aku menoleh pelan padanya. Suami tampanku itu menggenggam kedua tanganku erat-erat. Aku pun dibuat bingung karenanya. Apalagi setelah melihat raut wajahnya yang terasa lain dari biasanya. Sorot matanya memancarkan kebahagiaan yang tiada terkira.

"Makasih ya, karena kamu sudah bersedia menjadi ibu dari calon anakku," ujarnya. Aku terperangah. Maksudnya, Mas? Ibu? Calon anak?

"M-maksudnya, Mas?" tanyaku. Kedua alisku bertaut bingung.

Lelaki itu tersenyum. Senyum yang bahkan tak bisa kuartikan sendiri apa maknanya. Hei, ada apa gerangan?

"Selamat ya, Sayang. Kamu dinyatakan positif hamil oleh dokter." jawabnya, yang kemudian membuatku terkejut bukan main. Hah? Demi apa aku hamil?

"Saat kamu pingsan tadi, aku buru-buru membawamu ke rumah sakit. Dan, ternyata hasilnya, kamu resmi mengandung anakku, Dek."

Aku masih diam terperangah mendengar penjelasan suamiku barusan. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, ternyata di dalam rahimku ini telah tumbuh makhluk ciptaan-Mu yang merupakan hasil duplikat antara diriku dengan Mas Anggara. Ya Allah, betapa menakjubkannya karunia dari-Mu ini. Mas Angga, aku bersumpah, akan kujaga baik-baik buah hati kita, Sayang.

Mulutku masih bungkam tak sanggup mengucap kata. Hingga tak terasa, air mata luruh begitu saja dari pelupuk mataku. Kali ini bukan air mata derita yang kurasakan. Bukan, ini adalah air mata kebahagiaan. Mewakili rasa haruku yang sudah kian melambung di dalam hati.

"Ya Allah, Mas..."

Tanpa ba-bi-bu lagi, kuhamburkan pelukanku ke tubuh Mas Anggara. Kubenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Lelaki itu pasti tahu bahwa istrinya masih menangis saking bahagianya.

"Iya, Sayang. Mulai saat ini, kita sama-sama rawat anak kita baik-baik, ya? Kamu nggak boleh bandel. Nggak boleh kecapekan. Makannya juga harus banyak ya, Sayang? Setelah ini kita beli susu untuk kamu. Tadi kata dokter juga kamu harus banyak-banyak konsumsi buah dan asam folat." titahnya. Alamak, cerewet betul lelakiku yang satu ini. Haha, iya, Sayang. Siap, pasti akan kurawat anak kita dengan baik.

"Oh ya, satu lagi. Kamu nggak boleh stress ya, Sayang." ujarnya menambahkan. Aku hanya bisa tersenyum geli sambil mengangguk-angguk. Baru kali ini aku melihat seorang Anggara cerewet dalam berbicara.

"Iya, Mas. Pasti." ucapku sambil membelai lembut sebelah pipinya. Mas Anggara mengulum senyum manisnya. Dan, cup! Lelaki itu mendaratkan kecupan manisnya di punggung tanganku. Aku tersenyum bahagia. Hatiku tak henti-hentinya mengucap syukur atas karuna dari Yang Maha Kuasa.

***

Hari beranjak malam. Kedua insan yang masih dalam keadaan saling jatuh cinta itu masih terjaga dari tidur mereka. Sang wanita membelai lembut rambut suaminya sambil duduk bersandar di atas ranjang, sementara sang suami tampak asyik tertidur sambil mengelus perut istrinya yang masih rata. Senyum bahagia tak juga surut dari wajah keduanya.

"Aku rasa, momen yang lagi kita hadapi ini waktunya nggak tepat banget, ya?" Anggara berujar membuka obrolan.

Rara mengernyit heran. Tak mengerti maksud dan arah pembicaraan suaminya barusan.

"Maksudnya, Mas?"

Anggara menghela nafasnya sejenak. "Iya, kenapa coba, kamu hamilnya pas aku mau berangkat besok lusa? Kalau begitu kan, rasanya jadi makin berat buatku ninggalin kamu," jelasnya.

Rara menyunggingkan seulas senyum tipisnya. Jari jemarinya masih asyik bertualang di rambut cepak suaminya yang kini sudah nampak lebat.

"Ya udah, mungkin emang udah jadi rencana Allah kayak gitu. Kita syukuri aja ya, Mas? Aku juga nggak berkeberatan kamu pergi tugas. Ya, meskipun sebagai perempuan hamil, aku sangat membutuhkan kamu untuk tetap berada di sisiku, tapi aku sadar siapa statusku sekarang. Aku ini istri kamu, istri dari seorang prajurit negara. Aku harus terima apapun risiko mendampingi kamu," ucap Rara bijak.

Anggara mendongakkan wajahnya seketika. Takjub dengan apa yang dikatakan istrinya barusan. Hm, syukurlah jika memang begitu adanya. Dirinya semakin yakin bahwa Rara kini sudah bertransformasi menjadi sosok yang lebih kuat dan dewasa.

Sesaat, Anggara mengubah posisi tidurnya. Ia ikut terduduk di samping sang istri, dengan pandangan mata yang terus tertuju ke arah bola mata istrinya.

"Terimakasih, Sayang. Aku bersyukur punya istri sesabar kamu. Semoga, ketika lahir nanti, anak ini akan setangguh ibunya," ucap Anggara sambil kembali mengelus perut istrinya.

Rara tersenyum hangat. Keduanya saling bertatapan mesra. Tak lama, perempuan itu juga turut mengikuti sang suami mengelus perutnya. Seolah penasaran dengan hal menarik apa yang membuat Anggara begitu suka membelai perut ratanya.

Yang betah di perut mama ya, Dek. Peluk cium dari mama dan papa. Kami sayang padamu.

***

Okee guys, sampe sini dulu ya ceritanya. Author nggak mau buru-buru tamat, jadi author publish satu per satu. Readers harap sabar ya...🤗

Untuk update selanjutnya, kira-kira kapan ya? Hehe, tergantung authornya juga sih. Karena tugas-tugas negara numpuk di rumah😅 tapi insyaa Allah secepatnya. Ditunggu aja yaaa~

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang