44. Janji

6.8K 415 81
                                    

Burung walet berkejaran kesana kemari di angkasa lepas. Menciptakan nyanyian yang menyenangkan untuk diperdengarkan di Minggu pagi yang cerah ini. Di tengah bencana yang hampir saja berakhir ini, dua insan yang sama-sama berasal dari garis masa lalu yang sama, sedang asyik bercengkrama.

"Jadi, beberapa tahun setelah kita lulus, kamu pindah ke Australia?" tanya Anggara. Lelaki berperawakan tegap itu menatap lurus-lurus ke arah hamparan danau yang luas. Keduanya, bersama beberapa prajurit lainnya, memang baru saja bergotong royong mengambil bertangki-tangki air bersih di sumber mata air yang kebetulan letaknya dekat danau.

"Iya, karena itulah aku dulu memutuskan untuk pisah darimu. Kupikir, dengan berakhirnya kisah kita, kamu akan lebih fokus memikirkan masa depanmu tanpa harus repot memikirkan aku," terangnya. Pikirannya kembali menerawang kisah jalinan asmara yang sudah berakhir dua belas tahun silam. Dan siapa sangka, bahwa ternyata medan penugasan bisa mempertemukan mereka kembali?

Anggara diam tak bersuara. Sedikit tak menyetujui ucapan mantan kekasihnya barusan. Meninggalkannya hanya karena jarak? Itu merupakan alasan klasik yang terlalu mainstream baginya. Bagi Anggara, alasan tersebut terdengar konyol. Bagaimana mungkin dirinya bisa bahagia bila ditinggal pergi oleh sang kekasih tanpa kejelasan sedikit pun?

Tapi, ya, siapa peduli? Toh saat ini dirinya sudah menjadi pria beristri.

"Dan sekarang, kamu sudah berkeluarga?" tanya Anggara, mengganti topik obrolan.

Vennya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Kemudian, gadis itu menanyakan hal yang sama kepada Anggara.

"Aku belum menikah. Kamu sendiri... pasti sudah, ya?"

Anggara terkesiap. Sekelebat bayang-bayang wajah Rara tiba-tiba terlintas di pikirannya. Oh ya, hampir saja lelaki itu melupakan istrinya.

"Em, iya. Aku sudah menikah." jawabnya. Terselip sedikit rasa gundah di balik kata-katanya.

Vennya tersenyum getir. Gadis itu kembali memalingkan wajah ke arah danau.

"Takdir seseorang emang sulit ditebak, ya?"

Anggara tersenyum miring.

"Begitulah. Omong-omong, ini udah jam sembilan pagi. Sebaiknya kita kembali ke barak," ucap Anggara sambil mengangkat tubuhnya dari tepian danau.

"Izin, Ndan! Pengangkutan air sudah selesai, sekarang waktunya kembali ke markas," ujar Pratu Bagus. Anggara mengangguk mantap.

Vennya turut berdiri mengikuti langkah lelaki tersebut. Keduanya membawa masing-masing satu tangki untuk dipindahkan ke atas mobil pick up. Anggara-dengan tubuh kekar berototnya, tentu saja tak berkeberatan bila mengangkat tangki-tangki tersebut. Berbeda dengan Vennya yang sepertinya tak sanggup mengangkat satu tangki pun yang cukup berat itu.

Melihat ketidakmampuan dokter cantik tersebut, Anggara tersenyum tipis. Nalurinya sebagai seorang lelaki menuntunnya untuk segera membantu.

"Sini, biar aku saja." ujarnya menawarkan.

Vennya terbelalak. Merasa tak enak dengan tawaran lelaki tersebut.

"Eh, nggak usah, deh. Biar aku aja, kamu kan udah bawa banyak banget tangkinya," elaknya halus.

Anggara tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Merasa heran dengan keengganan gadis itu menerima bantuannya.

"Udah. Kamu ini ya, dasar keras kepala," ujarnya sembari mengambil alih tangki tersebut dari tangan Vennya.

Vennya yang tidak terima dikatakan seperti itu, lantas bersungut-sungut kesal.

Anggara tersenyum geli. Vennya masih terus misuh-misuh.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang