20. (Bukan) Hari Istimewa

7.4K 405 27
                                    

Deru nafas tertahan memantul di sudut-sudut kamar pengantin yang kini sudah didesain sedemikian rupa. Aroma-aroma kelopak bunga mawar menguar ke segala arah. Bunga-bunga cantik catleya biru menghiasi sudut-sudut ruangan. Dua orang penata rias sibuk merapikan riasan di wajah tirus Rara yang cantik rupawan. Kebaya putih itu menjuntai panjang dengan megahnya. Ronce melati terjulur di bahu sebelah kanannya. Sanggul besar, paes khas putri Solo menghiasi wajahnya yang semakin terlihat lemah gemulai. Bibir merahnya mengilap merona. Membuat jutaan insan mabuk kepayang kala menatap wajahnya. Cantik. Satu kata yang sanggup mendeskripsikan dirinya pada saat ini. Memang, secara logika, Angga betul-betul beruntung bisa mempersunting wanita secantik Elvira Claudina Soewirdjo.

Rara memandangi kosong lekuk tubuhnya yang terpantul di depan cermin. Sebentar lagi. Ya, nasib kehidupannya akan berubah dalam hitungan jam. Eh, mungkin, hitungan menit, ya? Entahlah. Saking kalutnya, wanita yang sebentar lagi akan resmi menjadi Nyonya Anggara itu tak sanggup melirik sedikit pun ke arah jam.

"Nak, sudah siap?"

Perlahan, Rara membuka kelopak matanya. Terdiam sejenak menanggapi pertanyaan ibundanya. Dilihatnya bayangan kedua wanita tersebut berdiri mematung di ambang pintu kamar.

Rara termenung. Mengucap lafadz bismillah dalam hati. Berusaha mengukuhkan hatinya walau terasa tertusuk duri-duri semu. Arak-arak mobil pengantin pria memang sudah didengarnya sedari tadi. Pertanda bahwa lelaki itu sudah siap terduduk takzim di depan penghulu sambil menjabat erat tangan ayahnya.

Gadis itu menarik nafas panjangnya. Sembari menoleh ke arah ibu dan calon ibu mertuanya, dara jelita itu mengangguk pelan.

OOO

Treetetetet....! bunyi petasan semakin memeriahkan suasana seiringan dengan melajunya Accord hitam berhiaskan sekuntum mawar di atas kap mobilnya. Gemuruh takzim suara bapak-bapak penabuh rebana menuntun mobil tersebut hingga terhenti tepat di depan gedung pernikahan.

Perlahan namun pasti, sesosok pria yang kini nampak rapi dengan kebaya dan beskapnya, turun dari balik pintu mobil. Langkahnya diiringi dengan para dayang yang cantik jelita. Kedua orang tuanya mengapit dari sisi kanan kiri tubuhnya. Payung emas melindungi tubuhnya memasuki ruangan gedung yang megah nan mewah. Ratusan tamu hadirin menatap takjub atas ketampanan dan sejuta pesona yang dipancarkan sang pengantin pria.

Dengan wibawanya sebagai seorang ksatria sejati, Anggara akhirnya terduduk tegak di depan meja hias berukuran kecil yang menjadi sekat pembatas antara dirinya dengan penghulu. Diliriknya pelan tempat lapang di sebelah kanannya. Kosong. Seulas senyum kecil terpatri di sudut bibirnya. Membayangkan sosok wanita cantik yang tak lama lagi akan bersanding tepat di sisinya.

"Nak Angga, sudah siap?"

Anggara menunduk pelan. Lelaki tersebut menarik nafas dalam. Sejurus kemudian, ditatapnya sosok bapak penghulu yang tadi melemparinya sebuah pertanyaan. Tanpa ragu, lelaki tersebut mengangguk mantap.

"Monggo, Pak. Dimulai ijab qabulnya," ujar penghulu kepada Pak Andre yang tak lama lagi akan resmi menjadi ayah mertuanya.

Pak Andre mengangguk. Pria paruh baya itu lantas menjabat erat tangan kanan lelaki yang akan mempersunting anak gadisnya.

"Nak Angga, ikuti perkataan saya."

Angga mengangguk mantap. Degup jantungnya berloncatan tak karuan. Jari-jemarinya perlahan terasa kebas. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya. Saking gugupnya menghadapi ikrar janji suci sehidup semati yang akan dilafalkannya. Dalam hitungan detik, lelaki itu akan menandatangani kontrak perjanjian dengan Yang Maha Kuasa. Kesaksian bahwa dirinya akan senantiasa menjaga, melindungi, dan bertanggung jawab atas istri dan keluarganya kelak.

Anggara menarik nafas dalam. Hatinya bergetar hebat tatkala didengarkannya suara tegas calon ayah mertuanya mengucap janji suci pernikahan mereka. Dengan satu tarikan nafas, lelaki itu mengucap kata demi kata sakral dengan nada tegas dan mantap.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Elvira Claudina Soewirdjo binti Andreas Hutamardy Soewidjo, dengan mas kawin tersebut tunai!"

Anggara menarik seulas senyum tipisnya. Merasa lega karena telah menunaikan tugasnya sebagai seorang lelaki sejati. Pun, ketika ucapan kata 'sah' menggema di seluruh penjuru ruangan.

Lelaki berperangai tegas itu mengucap syukur tiada hentinya. Mengekspresikan bahagia yang tiada terkira. Kebahagiaannya membuncah tatkala sang pengantin wanita turut hadir duduk bersanding dengannya. Mengecup punggung tangannya untuk yang pertama kalinya. Mengecup kening mulusnya untuk yang pertama kalinya. Bergantian menyematkan sebuah cincin di jari manisnya.

"Alhamdulillahirabbil alamin..." suasana bertambah khidmat saat sang penghulu mengucap syukur memanjatkan doa. Menengadahkan tangan memimpin doa restu meminta ridha Sang Pencipta. Keduanya lantas saling menandatangani buku nikah yang kini resmi menjadi milik mereka.

Ijab qabul sempurna dilaksanakan. Setiap tamu hadirin memandang kedua mempelai dengan penuh penghayatan. Terkesima dengan keserasian dan cinta yang terpancarkan dari keduanya. Padahal, mereka semua tidak tahu menahu tentang rahasia hati yang disembunyikan sosok wanita bernama Rara. Mereka yang datang mungkin akan mengira dirinya bahagia. Padahal, semua yang dilakukannya saat ini hanya sandiwara semata. Kebahagiaan yang dirasakannya kini, tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah kebahagiaan semu.

OOO

Prakk! Tawa bahagia membuncah tatkala akhirnya sebutir telur ayam berhasil dipecahkan kaki tegap seorang tentara bernama Anggara. Lelaki yang kini resmi menjadi suami sah Rara itu tengah melaksanakan prosesi Ngidak Endhog, seusai keduanya menjalani prosesi lempar sirih.

Suara lembut dengan aksen Jawa yang kental dari Mbak Ayu yang berperan sebagai MC di acara pernikahan Rara dan Anggara memandu keduanya dalam setiap prosesi yang mereka jalani. Pun, ketika tangan lembut Rara mencuci bersih kaki suaminya yang tadi digunakan untuk memecahkan telur. Meski dilakukan dengan keterpaksaan, gadis itu pasrah-pasrah saja dititahkan menjalani prosesi yang sedemikian repotnya itu.

Usai menjalani prosesi yang sedemikian ribetnya itu, kedua mempelai pengantin tersebut dituntun kedua orang tua mereka kembali menduduki pelaminan. Rara menghela nafas lega setelah akhirnya ia bisa kembali terduduk santai di kursi pelaminan. Rasanya, tenaga dan energinya sudah sangat terkuras berkat sekelumit prosesi adat yang harus dijalaninya.

Dan, ternyata acara tak sampai disitu. Masih ada banyak prosesi merepotkan yang harus dijalani Rara bersama suaminya. Dulangan, misalnya. Prosesi dimana kedua mempelai pengantin saling menyuapi makanan. Semua itu dilakukannya dengan hati yang setengah-setengah. Setengah ikhlas, setengah dipaksakan. Sebab pernikahan tersebut dilakukan tanpa dasar rasa cinta yang berarti. Agaknya, kisah tentang Siti Nurbaya itu nyata adanya.

Sedari tadi, Anggara mencoba melirik pelan istri cantiknya. Tanpa sepengetahuan Rara, tentunya. Yang saat ini wanita tersebut tengah jenuh karena terus duduk terdiam bersama lelaki yang sama sekali tak dicintainya. Memang, terkadang, cinta itu tak adil rasanya.

***

Selamat malam readerskuuh!

Hem, udah lama ya keknya author gak nongol di dunia bernuansa jingga ini. Hehehe, monmaap yak, author belakangan ini sibuk ujian dan sampai kini masih berlanjut sampai minggu depan. He, maklumin aja yak.

Tapi setidaknya, author sengaja nih nyempetin waktu buat update demi readersku tercinta. Hehe, moga seneng deh yak. Dan jangan lupa vote+komen nya kawan, biar author semangat lanjutin cerita+semangat hadapi ujian yang masih terasa membelenggu. Wkwkwk.

Oke deh, kira-kira gitu aja ya. Dankee^

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang