14. Aku Bisa Apa?

6.6K 416 5
                                    

"Saya sudah memutuskan untuk melanjutkan perjodohan kami."

Deg. Sebait kata yang sudah cukup menegaskan bahwa, detik-detik kebebasan hidup seorang Elvira akan benar-benar segera berakhir. Wanita itu duduk terpekur, memasang wajah syok setelah mendengar keputusan final seorang Anggara.

"Saya rasa... Rara adalah calon istri yang baik bagi saya. Saya merasa ada ketertarikan semenjak kami pertama bertemu. Dan, tekad saya sudah bulat. Saya memutuskan untuk melanjutkan perjodohan di antara kami."

Rara merasakan sebuah benda tumpul baru saja membentur hati kecilnya. Demi apa? Apa ia tidak salah dengar? Jadi, keputusan yang dibuat sepihak oleh Anggara itu benar-benar sudah telak, ya? Nggak ada niatan buat berubah pikiran, gitu?

Sementara ayah ibunya beserta kedua orang tua Angga saling berucap syukur atas keputusan yang baru saja diambil perwira berpangkat Letnan Satu tersebut.

Rara sama sekali tak percaya dengan apa yang dituturkan lelaki itu barusan. Loh, bukankah lelaki itu hendak membatalkan perjodohan mereka? Tapi, kenapa kini justru ia hendak lanjut dijodohkan?

Senyum bahagia mengembang di wajah-wajah anggota keluarga mereka. Berbeda dengan Rara yang justru lebih banyak termenung meratapi nasib. Sungguh, gadis itu sama sekali tak mengerti dengan pola pikir tentara bernama Anggara. Calon istri yang baik? Ah, apa iya? Jadi, tingkal menyebalkan Rara selama ini justru dikategorikan sebagai tingkah laku yang baik di mata Anggara?

"Alhamdulillah. Mbak, berarti kita bisa besanan," ucap Bu Marini senang bukan kepalang. Bu Galuh mengangguk cepat sambil memamerkan senyum bahagianya.

Rara masih diam tak berkutik. Sementara diam-diam Angga mencuri pandang padanya. Merasa puas akan jawaban yang diberikannya barusan. Agaknya, lelaki itu benar-benar serius hendak mengambil hati Rara. Tapi, yang jadi masalahnya, sanggupkah ia memegang ucapannya barusan? Ataukah justru, ia tetap akan pergi seperti pria-pria lain yang dulu pernah menyakiti Rara?

"Kalau begitu, kita bisa menentukan tanggal pernikahannya dari sekarang. Ga, kamu kapan mau ajak Rara pengajuan?" tanya Pak Bambang tanpa menyurutkan sedikit pun senyum di wajahnya.

Pengajuan? Apa itu? Kira-kira itulah yang tengah diperdebatkan Rara dalam hatinya. Lahir dan besar di lingkungan keluarga sipil, tentulah gadis itu merasa awam dengan istilah tersebut. Ya, meskipun dirinya bukan berasal dari keluarga sipil murni. Sebab almarhum kakeknya adalah seorang purnawirawan TNI. Tapi, tak sedikit pun gadis itu mengerti tentang tetek bengek dunia kemiliteran.

"Insya Allah bulan depan, Yah. Kalau tidak sedang bertugas. Untuk lebih tepatnya, nanti bisa saya koordinasikan dulu dengan komandan," jawabnya. Pak Bambang manggut-manggut paham.

Rara merengut. Wajahnya sudah tak segembira tadi pagi. Dirinya malah merasa bingung saat ini. Patutkah hari ini dijadikan sebagai hari paling bahagia baginya? Atau justru, hari ini menjadi hari paling nestapa seumur hidupnya?

Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, gadis itu tak bisa berbuat banyak. Kebebasan kini kembali menjadi angan-angan belaka yang takkan bisa digapainya. Sebab, nasib kehidupannya sudah ditentukan hari ini. Seorang gadis seperti Rara, ah, bisa apa dia?

OOO

Rara terduduk diam di samping jok kemudi. Titik-titik kesunyian kembali meresapi ruang mobil Angga yang dingin. Terasa begitu dingin menusuk kulit. Temperatur di dalam tubuhnya seketika menggigil tanpa sebab yang jelas. Padahal, suhu ruang mobil Angga tak sedingin yang dikira. Alih-alih lelaki itu menyalakan AC, membuka jendela mobil pun tidak.

Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah kiri jalan yang lengang. Berbeda dengan Angga yang sesekali melirik ke arah gadis malang tersebut, di samping pandangan fokusnya ke arah jalan. Perlahan, kekalutan mulai mengerubungi hati kecilnya. Merasa berdosa karena telah membuat gadis itu merana karenanya. Merasa bersalah karena telah memberi keputusan sepihak yang tentu berbanding terbalik dengan apa yang diinginkannya.

Tapi, kalau urusan takdir, lelaki itu tetap tak bisa mengelak. Pasalnya, sudah berulang kali dirinya mencumbu Allah dalam sujud-sujud sholat istikharah setiap malam, meminta petunjuk Yang Maha Kuasa atas keputusan nasib perjodohan mereka. Selama itu pula, wajah Rara lah yang senantiasa membayangi pikirannya. Nama gadis itu lah yang selalu muncul di dalam benak lelaki berperangai tegas tersebut. Dirinya meyakini, dengan cara itu lah Allah memberinya petunjuk. Petunjuk untuk tetap melanjutkan perjodohan mereka with no excuse.

"Dek," panggil Angga pelan. Rara melirik pelan.

"Maafkan aku, ya?"

Rara kembali memalingkan wajahnya ke arah kiri jalan. Tanpa memberi respon apapun terhadap apa yang diucapkannya barusan.

"Nasibku sudah ditentukan. Untuk apa kamu meminta maaf?" ucapnya dingin. Senada dengan hatinya yang beku terpenjara dengan kenangan-kenangan pahit masa lalunya.

Angga terdiam sesaat. Lelaki itu memutar kemudinya ke arah sebuah jalan menuju kost tempat gadis itu tinggal. Kesunyian kembali membelah kedua insan tersebut.

"Permintaan maafmu takkan mengubah apapun. Hah, percuma."

Angga masih terdiam tak berkomentar. Dirinya memilih diam merenungi perkataan Rara yang lebih merujuk kepada ungkapan perasaannya yang serasa bagai terpenjara.

Fortuner hitam itu terhenti mulus di depan gerbang kost yang ditinggali Rara. Setelah gadis itu lulus dari dunia perkuliahannya, ia harus bersedia menetap di ibukota selama satu bulan lamanya, menunggu hari pengajuan itu tiba. Setelah itu, entahlah. Mungkin gadis itu akan kembali dipulangkan ke kota kelahirannya.

Setelah mesin mobil itu benar-benar berhenti, gadis itu segera melangkah keluar dari mobil. Langkahnya tergesa-gesa. Seolah tak ingin berlama-lama dengan calon suaminya. Dan ketika pria itu menyebut-nyebut namanya, gadis itu tetap tak kunjung membalikkan badannya.

"Tunggu, Ra,"

Langkah kaki Rara sukses terhenti tatkala Angga mencekal pergelangan tangannya. Sekuat tenaga gadis itu mengenyahkan lengan kekar Angga dari tangan kanannya, namun akhirnya tetap kalah juga.

"Apa lagi, sih?!"

Angga memandanginya dengan perasaan cemas. Sementara Rara terus merengut kesal. Sejak dalam perjalanan, gadis itu memang sudah mati-matian menahan isak tangis yang sudah membendung di pelupuk matanya. Maka dari itu, ia ingin segera memasuki rumah kostnya, lalu menangis sejadi-jadinya.

"Aku tahu, kamu memang belum bisa membuka hatimu untukku." Ucap Angga lembut. Lengan tegapnya masih mencengkeram lembut pergelangan tangan Rara.

Angga memberi jeda sedikit sebelum akhirnya kembali melanjutkan perkataannya.

"Tapi, kamu harus tahu satu hal. Sampai kapan pun, aku akan terus berusaha meyakinkan kamu bahwa aku benar-benar tulus menyayangimu. Aku bukan lelaki jahat seperti yang kamu pikirkan," tuturnya lembut.

Rara terdiam tanpa memberikan sedikit pun komentar. Sudah cukup lelah hati, jiwa dan raganya saat ini. Gadis itu tak ingin menambah beban hatinya dengan melakukan perlawanan terhadap lelaki itu.

"Aku mengerti perasaanmu saat ini, Dek. Dan, aku betul-betul minta maaf jika sekiranya keputusanku barusan membuatmu tersiksa. Tapi, inilah yang harus kulakukan. Inilah tekadku. Mau bagaimana pun sikapmu kepadaku, aku akan tetap memilihmu. Kamu adalah jawaban dari segala doa yang kupanjatkan setiap malam."

Rara tertunduk sesaat. Setetes air mata diam-diam terjatuh dari pelupuk matanya.

"Aku yakin, kamu adalah jodoh terbaik yang dikirimkan Tuhan padaku. Aku berjanji, Dek. Aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia,"

Anggara merengkuh pelan Rara ke dalam pelukannya. Sekedar untuk memberikan pundak untuk bersandar. Memberikan ruang untuk mengurai air mata. Angga tahu, gadis itu saat ini tengah terjatuh ke dalam jurang kenestapaannya. Rara pun tak menolak saat lelaki itu merengkuh tubuh mungilnya lembut. Yang dibutuhkannya saat ini memang ruang untuk meluapkan segala perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.

Tak sedikitpun lelaki itu menghentikan tangis Rara yang semakin lama semakin membanjiri pelupuk matanya. Biar saja gadis itu meluapkan segala amarahnya. Biar saja gadis itu membagi beban hati kepada dirinya. Biar saja.

Sincerity (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang