F-1

10.1K 712 69
                                    

Surat Peringatan

•••


Saat di bangku SD, ada satu guru yang selalu bertanya kemana kami pergi liburan atau tempat apa yang selalu kami datangi selama liburan di hari pertama masuk sekolah. Dengan senang hati akan kujawab "kamar ayah dan ibu" atau "ruang perpustakaan di rumah".  Hal itu sempat membuat guruku merasa kagum. Tentu saja. Siapa lagi anak muridnya yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat favorit untuk dikunjungi?

Ruang perpustakaan mini yang ada di samping ruang kerja papa adalah tempat paling nyaman. Tapi kalau ada yang bertanya tempat kesukaanku setelah berstatus sebagai murid SMA, jelas jawabannya adalah ruang BP.

80% kasusku biasanya hanya terlambat datang atau lupa membawa buku catatan dan buku penunjang belajar lainnya yang sesuai mata pelajaran. Aku pun tidak mengerti, kenapa masalah sesepele itu bisa membuatku bolak-balik ruang BP setidaknya dua kali seminggu. Hitung saja berapa kali aku ke tempat keramat itu selama 2 tahun sekolah disini.

Pak Erik mengakhiri sambutannya pada kunjunganku yang ke tiga selama 2 bulan aku berstatus kelas 12. Kemudian mempersilahkanku kembali ke kelas.

Sangat disayangkan intensitas kunjunganku sekarang berkurang. Padahal aku suka sekali setiap mendengarkan Pak Erik berceloteh panjang lebar. Yah, walaupun hanya kutanggapi dengan anggukan.

Saat Pak Erik memberikanku petuah dengan amarah sekaligus jenuh yang bercampur menjadi satu, aku tetap menikmatinya. Menikmati perasaan seakan diperhatikan lebih oleh pria tua. Mereka tidak mengerti, bagiku rasanya seperti kembali diperhatikan papa.

Saat berjalan menuju pintu keluar kantor guru, aku mendengar kasak-kusuk beberapa guru yang sedang berkumpul menyebut-nyebut nama Bu Hana. Aku sengaja berhenti di samping kubikel wali kelasku itu. Melirik ke kursinya yang kosong.

Yang tertangkap pandanganku justru amplop putih dengan cap stempel logo sekolah berwarna merah. Benda itu tergeletak di samping keyboard komputernya.

Surat peringatan?

Tanganku bergerak tanpa bisa dihentikan. Rasa penasaranku terlalu tinggi untuk ini. Aku tidak berminat membaca pembuka surat. Isinya menyatakan masa percobaan Bu Hana hanya sampai berakhirnya tahun ajaran sekarang. Bila gagal menaikkan prestasi anak muridnya di kelas F, izin mengajarnya akan resmi dicabut dari sekolah ini.

Aku merasa tenggorokanku mengering. Dengan tangan sedikit bergetar dan basah, kukeluarkan ponsel dan memotret isi surat itu. Entah untuk apa. Yang jelas isi surat ini membuat perasaanku tidak enak.

"Resha, kalau sudah ketemu Pak Erik-nya kamu balik lagi ke kelas." suara lembut namun tegas milik Bu Hana membuatku terlonjak. Beliau sudah menarik surat yang kupegang dan memasukkannya lagi ke dalam amplop.

"Ayo sana balik ke kelas," perintah Bu Hana yang membuatku mematung sejenak. Pertanyaan-pertanyaan yang berkumpul di otakku sudah sampai di ujung lidah. Tapi yang kulakukan hanya mengangguk dan keluar menuju kelas dengan pikiran campur aduk.

Gado-gado aja kayaknya kalah nyampur dibanding isi otakku sekarang.

Konsentrasiku buyar.

Selama tiga mata pelajaran terakhir, aku seperti melayang entah kemana. Yah, bukan berarti selama ini konsetrasiku baik-baik saja. Tapi kali ini berbeda, aku merasa sesuatu seperti mau meledak dan hampir memecahkan batok kepala.

Apa teman-temanku tahu kalau Bu Hana dapat SP? Apa mereka tahu kalau kelangsungan karir dan pekerjaan Bu Hana bergantung pada nilai-nilai kami?

CLASS FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang