1. Sebuah Pengakuan

28K 634 94
                                    

Seperti apa gambaran yang mungkin terlintas di benakmu tentang gadis dari Benua Amerika? Berwajah cantik dengan iris mata cokelat dan warna kulit yang lebih gelap dari gadis Asia Timur? Alicia memiliki ciri itu, suatu pengecualian untuk warna kulit. Dia terlihat lebih pucat dari teman-temannya barangkali keturunan dari Ayahnya yang seorang Russian.

Negara tersebut memang terkenal dengan salju yang ada di mana-mana, tak heran banyak orang berkulit pucat hidup di sana. Namanya Alicia Miguel, dia biasa memanggil Al atau Alice. Hidup berdua dengan Ayahnya sejak usia delapan tahun, latar belakang Ayahnya adalah seorang ilmuwan.

Ibunya menjadi salah satu korban kejahatan perampok yang sempat merajalela di kota, yang mereka tahu, pagi itu Ibunya pamit ingin pergi berbelanja dan siangnya mereka menerima kabar bahwa wanita itu sudah meninggal.

Baik Al dan Ayahnya sangat mencintai sosok wanita itu, setiap pergantian tahun mereka selalu mengunjungi makamnya untuk sekadar menceritakan hari-hari mereka dan mendoakan agar wanita itu bahagia di sana. Hampir tujuh tahun Al hidup tanpa sosok Ibu, Ayahnya tidak berniat menikah lagi dan lebih memilih mendedikasikan dirinya untuk kepentingan umum.

Saat kelulusan Sekolah Menengah Atas semua
teman-temanya datang sambil menggandeng Ayah dan Ibu mereka. Cukup membuat iri, seandainya Ibunya masih hidup mungkin Al akan melakukan hal yang serupa dan mengenakan pakaian yang senada dengan wanita itu. Dari tempatnya berdiri dapat terlihat sosok Ayahnya sedang dalam perjalanan mendekati aula tempat pelepasan murid kelas akhir.

Pria itu datang dengan bersusah payah membawa sebuah bucket bunga yang besar. Berhasil membuat gadis kecilnya tersenyum, Ayahnya ternyata orang yang manis. Al masih memperhatikan sosok itu lewat jendela kaca, hingga tiba di depan gedung aula, dia segera berlari menyambut pria itu dengan ceria.

“Setelah ini akan kemana?”

Ayahnya membuka suara ketika mereka duduk sejajar sambil menikmati penampilan teater yang dibawakan oleh anak-anak dari kelas tari. Mereka benar-benar bekerja keras untuk
penampilan ini, Al sering melihat mereka berlatih sampai sore.

“Saran Ayah?” Pria itu tersenyum lalu mengusap
rambut anaknya. “Kamu yang sekolah mengapa bertanya ke Ayah?”

“Karena selama ini pilihan Ayah yang terbaik,”
jawab Al menatap bangga wajah Ayahnya.

Ekspresi itu disambut baik, Ayahnya juga tersenyum menampilkan  guratan halus yang mulai timbul di wajahnya. Dalam hati Al merasa sedih, garis usia itu menunjukkan bahwa sosok di sampingnya tidak lagi muda.

“Ayah punya referensi, setelah ini kita akan bahas di rumah, tetapi kampus itu lumayan jauh.” ada rasa sesal dalam perkataan pria itu barusan.

“Lalu Ayah hidup sendirian di kota ini?” Al sedikit memajukan badannya hingga meninggalkan sandaran bangku yang dia duduki, wajahnya seolah ingin protes lebih.

“Mengapa sendiri? di kota ini banyak orang Al,
Ayah akan mengabdi kepada masyarakat dengan begitu Ayah tidak akan merasa kesepian.”

“Lalu aku?” Al menatap dengan wajah memohon,
dia ingin selalu bersama Ayahnya. Reaksi yang wajar bagi anak yang tidak pernah jauh dari orang tuanya.

“Carilah teman yang banyak Al, cobalah untuk
hidup di luar. Ayah menyayangimu dan Ayah ingin melihatmu sukses, lagipula Ayah tidak akan mencari anak  kecilnya yang merajuk."

Kemudian Al juga ikut tertawa.

Lelucon mencari anak baru boleh juga. Mereka kembali menikmati pertunjukkan teater yang telah diabaikan sejak tadi. Setelah acara selesai mereka kembali ke rumah untuk beristirahat dan malam harinya mereka banyak berdiskusi termasuk membahas kampus referensi dari Ayahnya.

ETHEREALDonde viven las historias. Descúbrelo ahora