26. Sesuatu yang pergi

7.5K 448 67
                                    

“Halo, selamat malam kak.”

Dari sebrang sana Cath menjawab dengan ceria, mereka menghabiskan cukup lama waktu untuk berbasa-basi hingga akhirnya Al secara perlahan-lahan mengutarakan permasalahannya. Meskipun sedikit bimbang untuk mengatakannya.

“Kak, siang tadi Garry mengajakku ke makam mendiang Ibu mertua dan dia ... Dia meminta maaf dengan tulus padaku.” Cath tidak menjawab, dia masih mempersilahkan adik iparnya untuk berbicara. Tak dipungkiri jika hatinya merasa senang bukan main.

“Tapi aku ragu dengan perasaanku kak,” sambung Al lagi.

“Kenapa Al? Ada hal yang masih mengganggu pikiranmu?”

Al dapat menerka pasti Kakak iparnya menyayangkan ucapannya barusan. Ia menarik napas pelan untuk kembali melanjutkan ucapannya. “Hatiku belum siap menerimanya kak, meskipun aku ingin. Tadi Garry kecewa dan aku tidak tega melihatnya, apakah yang ku perbuat salah?”

Nada bicara Al semakin lirih sebenarnya dia juga merasa bersalah. Dari sebrang sana dia dapat mendengar helaan napas Kakak iparnya. “Tidak sayang, mungkin kalian memang membutuhkan waktu untuk saling memahami. Luangkan waktu untuk berdiam diri dan tanyakan pada dirimu sendiri, apakah hatimu sudah siap menerima Garry.”

Al mengangguk pelan, setelah itu menutup telepon. Masih terlihat tidak bersemangat, dia juga heran. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam tetapi Garry tidak kunjung datang ke kamar mereka. Apa Garry terlalu kecewa? Al merasa tak enak hati. Seharusnya ia  merasa senang untuk hari ini tetapi entah mengapa dia merasa lelah dan memutuskan untuk langsung tidur.

**

Pagi-pagi sekali Bianca terlihat seperti orang gila karena panik, melihat Yolanda hampir kolaps setelah malam harinya pesta minum alkohol sendirian di dalam kamar. Bianca tidak menyangka jika Yolanda berani nekat melakukan hal gila ini, menyiksa dirinya sendiri.

“Astaga ... Dari mana kau mendapatkan minuman ini?” Bianca frustasi ketika melihat kamar Yolanda yang luar biasa berantakan sementara sang empu duduk bersandar di sudut dinding kamar. Bahkan Bianca sesekali menutup hidungnya karena mencium bau menyengat dari boto-botol beer yang berserakan di lantai.

Yolanda tidak menjawab, masih melamun seperti orang bodoh membuat Bianca geram. Apakah ia perlu memanggil pastur supaya Yolanda kembali seperti dulu? Atau psikiater? Kalau begini terus dirinya tidak akan sanggup mengurus hidup temannya itu.

“Aku ingin Garry__” Suara Yolanda terdengar pelan dan putus asa, bahkan di saat seperti ini dia masih mengharapkan Garry, membuat Bianca menggerutu.

“Bawa dia kembali padaku___” Akhirnya Yolanda menangis lagi, entah yang berapa kali dia menangisi pria itu sejak tadi malam. Bianca tidak cukup tega mengabaikan Yolanda lantas menghampiri dan memeluknya. Seolah mengirimkan pesan masih ada orang yang peduli terhadapnya.

“Jangan merusak dirimu sendiri, jangan melukai dirimu sendiri, kau hanya perlu waktu untuk berdamai.” Bianca mengusap bahu bergetar temannya penuh kelembutan supaya Yolanda tidak terus-terusan tertekan.

“Aku___ aku sudah menaruh harapan padanya, aku tak berpikir pada hal lain Bi. Semua janjinya masih teringat di kepalaku.” Yolanda menangis di dalam pelukan Bianca, cukup lama mereka berdiam di sudut dinding kamar itu.

“Aku memang tidak punya banyak pengalaman tentang ini, tetapi menurutku melupakan lebih baik. Dia sudah memiliki istri dan anak, bahkan keluarganya tidak menyukaimu, jika kau tetap ingin bersamanya kau tidak cukup bahagia dengan modal cinta.”

Nasihat itu mengudara, Yolanda tidak menjawab masih memejamkan matanya di pelukan Bianca. Bianca hanya mengulas senyum maklum, keadaan Yolanda sangat kacau dan sulit berpikir rasional. “Kau masih pusing? Apa perlu kita ke dokter?”

ETHEREALWhere stories live. Discover now