21. Tak Mempunyai Tempat

7.2K 379 46
                                    

Musim dingin telah berlalu, mempersilahkan semi untuk menjamu. Ini musim yang indah, dimana orang-orang dapat melihat bagaimana para tumbuhan eksis kembali setelah tertimbun oleh si putih yang dingin. Keluarga Douglas melewati pesta natal yang meriah, dengan seorang bayi mungil berpipi gempal di antara mereka. Ibu dari si bayi tersenyum bahagia, namun lagi-lagi itulah kurangnya manusia yang tidak dapat mengetahui isi kepala dan hati masing-masing. Nyatanya ada luka yang semakin lebar di sini.

Dimana ketika Al mengetahui fakta dibalik hilangnya Garry di pesta malam itu. Terlebih tindakan Garry yang dengan mudahnya menyerahkan kunci apartemen pribadinya kepada Yolanda. Al termenung sehabis memberikan susu kepada Livi, bayinya tumbuh dengan sehat membuatnya terhibur. Box bayi bewarna putih berhiaskan pohon sakura itu menjadi objek pandangannya saat in, menatap kosong sesekali membuang napas kasar ketika hal tidak menyenangkan kembali teringat olehnya.

“Livi, apa sebaiknya kita berhenti di sini?” ucapnya sendirian, wajahnya terlihat sendu ketika ingatan tidak menyenangkan itu datang bertubi-tubi. Menyudutkannya semakin jauh.

“Tetapi Kakek akan sedih kalau kita kembali kerumahnya dengan status ibumu yang janda. Livi masih terlalu kecil untuk menerima status ini.” Al menatap botol susu yang dia pegang, ada rasa sesal dalam hatinya.

Dia tidak bisa memberikan ASI eksklusif pada bayinya, kata dokter dirinya terlalu banyak pikiran atau bahkan bisa dibilang stres sehingga kadar ASI yang keluar sedikit. Kualitas ASI yang dikeluarkan juga kurang bagus didukung dengan kebiasaan buruknya semasa hamil.

“Bahkan sejak bayi Livi tidak merasakan meminum Asi. Livi pasti mengira mama tidak becus. Lalu bagaimana mungkin mama mengajak Livi pergi tanpa memberikan kesempatan untuk Livi untuk merasakan kehadiran Ayah,” sambungnya lagi lalu mengusap pipi merona bayinya.

Sebenarnya Al merasa sedikit bahagia, pasalnya Garry tidak melakukan tes DNA itu. Meskipun hasil DNA mereka identik tetapi Ibu mana yang tidak terluka jika status anaknya diragukan oleh Ayahnya sendiri. Dan Al masih ingat ketika untuk pertama kalinya Garry memainkan pipi berisi bayi mereka di ruangan ini, namun kala itu dia hanya berdiri di depan pintu. Keadaan semakin membuatnya bingung.

Atas saran dari keluarganya akhirnya Al menyewa seorang baby sitter, dengan alasan Al masih belum paham mengurus bayi sebab itulah mereka membutuhkan seseorang yang lebih paham. Meskipun mereka sudah menyewa asisten, tetapi kehadiran sosok yang lebih kompeten sangat dibutuhkan oleh keluarga ini. Mereka memanggilnya Bibi Ellen, seorang wanita berusia kepala empat dengan pengalaman yang tidak dapat diragukan lagi. Dia bekerja di sebuah perusahaan jasa pendampingan Ibu dan bayi.

Saat ini Bibi Ellen sedang menggendong Livi, bayi itu sudah berumur tiga bulan dan mulai aktif memiringkan badannya. Garry tidak sengaja bertemu mereka di ruang tengah, dia baru kembali dari luar. Garry berhenti sebentar untuk memainkan pipi bayi itu.

Bibi Ellen memukul jemari Garry, memandangnya sebal. “Jangan langsung menyentuh anakmu sehabis dari luar,  setidaknya cuci tangan atau pergilah mandi.” Garry mengangguk lalu pamit untuk cuci tangan dan ganti baju, setelah selesai dia menghampiri Bibi Ellen lagi.

“Mau mencoba menggendongnya?” ujar Bibi Ellen.

“Aku takut dia akan terkilir,” jawabnya ragu masih asik menekan-nekan pipi anaknya. Sesekali dia akan menciumnya. Seperti boneka hidup, pikirnya.

“Bibi akan mengajarimu, kehadiran sosok Ayah berperan penting dalam pertumbuhan dan psikologi anak. Setiap bayi memerlukan sentuhan langsung dari Ayahnya. Kemari, buka lenganmu.” Garry mencoba membuka lengannya berusaha memahami instruksi dari Bibi Ellen dengan antusias, dan ketika bayi itu berada dalam rengkuhannya, dia tersenyum girang.

ETHEREALWhere stories live. Discover now