Satu

4.9K 728 80
                                    

[edited]

Hanna memeriksa penampilannya di cermin berkali-kali; rambut disisir dan dikuncir rapi, kemeja putih sudah diberi pewangi dan disetrika, rok selutut dan blazer hitam yang baru dibeli tadi malam. Hanna lalu mengangkat kedua tangan bergantian dan membaui dirinya sendiri.


“Huft, parfumnya mahal, sih, tapi aromanya sepadan.”

Hanna lalu maju selangkah dan mencondongkan tubuh sedikit ke arah cermin yang sama tinggi dengan tubuhnya itu. Hanna menorehkan eye liner dengan kehati-hatian ekstra seolah sedang melukis karya agung di atas kanvas. Dia menggunakan maskara lalu merapikan lagi bedaknya, dan sentuhan terakhir lip tint warna ceri.

“Aku selesai!”

Saat Hanna mengepak lagi alat-alat make up ke dalam tas, Jungkook menyembul di ambang pintu. Dasi belum dipasang dengan baik, bocah SMA bertubuh tinggi atletis itu bersandar dan menyilang lengan di depan dada. “Nuna, dua puluh menit lagi jam delapan. Yoongi hyung sudah mau pergi, tuh.”

“Apa?!”

Hanna cepat-cepat meraup tas ke dalam pelukan, memungut sepatu baru yang masih di dalam kotak di bawah meja lalu berlari telanjang kaki meninggalkan kamar. Jungkook yang nyaris jatuh karena tersenggol hanya bisa mengumpat dalam diam kalau tidak mau dihajar ibu dengan panci panas.

“YOONGI!” Hanna berlari keluar menuruni tangga teras. “Yoongi, tunggu!”

Yoongi yang baru saja hendak masuk ke mobil mengurungkan niat dan berdiri sambil merotasi mata. “Bisa tidak, coba sopan sedikit dan panggil ‘kakak’ karena aku setahun tiga bulan lebih tua.”

“Yoongi, kau ini tega sekali. Antar aku ke kantor Jimin, ya? Nanti terlambat kalau naik bis.”

“Kantor Jimin? ‘Jimin’ kau bilang? Hei, kaupikir dia itu temanmu? Belum apa-apa sopan santunmu sudah tercecer ke mana-mana.”

“Sudahlah, sudah. Aku janji akan berubah seratus delapan puluh derajat di depan Jimin nanti. Antar aku ke sana dulu, ya.”

“Kita berlawanan arah!”

Hanna sudah lebih dulu masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman. “Kau, kan bos jadi tidak masalah kalau datang sedikit terlambat, bukan? Nanti kalau aku sudah diterima bekerja dan punya uang, aku akan beli mobil sendiri dan tidak merepotkanmu lagi.”

“Percaya diri sekali kalau kau akan diterima,” kata Yoongi sambil menyalakan mesin mobil.

“Aku benar-benar percaya diri dan dipenuhi aura positif. Aku percaya hal baik akan terjadi.”

“Kau juga ngomong begitu sebelum uangmu dibawa lari temanmu.”

“Kalau bukan karena aku tidak ingin dihabisi ibu karena memenggal kepalamu, kau sudah kutendang keluar dan kugilas dengan mobil ini sampai jadi daging cincang.” Hanna merapikan kerah kemejanya lalu berkata, “Omong-omong, ceritakan sedikit tentang Jimin, dong. Mulai dari awal. Bagaimana kalian bisa saling kenal?”

“Dia itu temanku sejak sekolah dasar. Jadi, ya, kami sudah kenal lama.”

Hanna menoleh dan membelalak. “Jimin sekolah di tempat yang sama denganmu? Wah, kukira dia pasti belajar di sekolah papan atas.”

“Itu karena Jimin memaksa. Dia mengancam akan kabur dari rumah kalau dikirim ke sekolah asrama, jadi orangtuanya tidak punya pilihan. Toh, ketika SMA dia masuk ke sekolah pilihan ibunya juga, walau masih sering ngumpul sama kami juga.”

Hanna mengangguk-anggukkan kepala. “Lalu? Ceritakan lagi, dong, sedikit tentang dia.”

“Ck. Kenapa, sih? Kau ini, kan mau jadi asisten bukan istrinya. Bekerja saja dengan baik dan jangan cari gara-gara. Mau ditaruh di mana mukaku nanti? Kaukira sembarang orang bisa diterima di sana?”

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now