Dua Puluh Dua

4.5K 546 257
                                    

Warning,
slight mature.

[edited]

“Kau akan pergi?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Kau akan pergi?”

Ketakutan menjalari hati Hanna seketika. Dia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidup, tidak bahkan ketika dia tahu akan kehilangan pekerjaan, atau ketika pengumuman kelulusan; dalam sekejap pikirannya berkecamuk panik, yang membuatnya tidak bisa memikirkan apapun selain kepanikan itu sendiri.  Beberapa hari belakangan adalah waktu terbaik dalam hidupnya. Hanna tidak bisa berbohong kalau diam-diam otaknya menciptakan gambaran manis tentang masa depan, seklise apapun itu terlihat. Hanna tahu dia belum mengenal Jimin terlalu lama. Sialan, mereka belum mengenal satu sama lain sebaik itu. Akan tetapi, membayangkan ketidak hadiran Jimin di hari-hari yang akan datang....

“Iya.” Jimin menjawab lantang kemudian. Kedua irisnya masih terpaku ke luar jendela. Cahaya lampu jalan membias di wajah porselennya yang mengeras.

“Tapi, uhm, maksudku, apakah kau ... tidak. Maksudku, pasti ada jalan lain, kan? Aku tahu ini penting, tapi, pasti ada.” Hanna menggeleng frustrasi. “Kau sudah yakin?”

Serta-merta Jimin menoleh, tatapan dinginnya membuat Hanna merasa dicambuk dengan kekuatan penuh. “Ya. Kami akan pergi.”

“Ta ... tapi—“

“Kau mau ikut denganku?”

“Apa?”

Hanna nyaris melotot, sementara tidak ada perubahan ekspresi di wajah ayah satu anak itu. Kalimatnya kemudian begitu singkat dan jelas.

“Ikut denganku.”

“Itu ... uhm, keren? Tapi ... tidak. Ini ... ini terlalu mendadak, Jim. Aku tidak bisa mem—“

“Kau tidak mau?”

“Bukan begitu. Kita harus—“

Dada Hanna terasa dihimpit beton, nyeri bukan main ketika sudut bibir Jimin berkedut dan sebelah alisnya terangkat. Dia mengamati wajah Jimin dalam kebingungan absolut, tapi senyum Jimin justru semakin lebar seiring kening Hanna semakin berlipat-lipat. “Ke-kenapa kau tersenyum?”

Hanna lupa caranya bernapas saat sesekon kemudian Jimin justru tertawa keras. Dia sampai melempar tubuh nan dibalut piyama kuning itu ke kasur, terbahak-bahak memegangi perut. Beberapa saat setelahnya Jimin kembali duduk. Dia mengambil tangan Hanna yang sudah berubah sedingin es, bulir air terlihat di sudut mata sabitnya saking kuatnya dia tergelak.

“Hanna, aku cuma bercanda! Ya, ampun wajahmu lucu sekali.”

Hanna mematung di tempat, otaknya memproses lambat atas apa yang baru saja terjadi. Sungguh, Hanna harap dia bisa tertawa, tapi kini dadanya malah tambah sesak. Maniknya bergerak menatap kedua mata Jimin bergantian, bola matanya terasa panas, ketika perlahan senyum di wajah Jimin memudar.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now