Enam

4.4K 635 198
                                    

Sebulan bekerja bersama Jimin, hari-hari Hanna kini berlalu dengan cepat.

Hampir setiap hari, Hanna akan pergi ke rumah Jimin dulu. Di sana dia akan memberikan jadwal Jimin untuk sehari penuh, menemani Jimin dan Abel sarapan (membuat Hanna dengan sengaja melewatkan sarapan di rumah, karena tak enak rasanya terus-terusan menolak ajakan makan atasannya apalagi kalau sudah Abel yang meminta), membantu memasang dasi seperti biasa. Nantinya dari sana mereka akan berangkat langsung menuju tempat pertemuan, atau ke lokasi yang harus Jimin tinjau, memastikan pembangunan dan bisnis di lapangan berjalan lancar. Mungkin ada dalam satu hari Hanna dan Jimin tidak akan pergi ke kantor, karena mereka sibuk berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, memenuhi janji temu, survey lokasi, bertemu pengusaha luar. Kadang Hanna juga, mau tak mau, menyeberang ke Pulau Jeju, Pulau Nami, lalu menginap di sana. Sudah jadi keharusan, Hanna harus selalu menyediakan setidaknya sepasang baju ganti dan pakaian dalam di tasnya. Dan percaya atau tidak, sudah ada dua sampai tiga pertemuan yang harus Hanna hadiri menggantikan Jimin.

Terkadang urusan dengan klien bisa diselesaikan melewati Hanna saja. Sekadar membubuhkan stempel milik Jimin, penyerahan dokumen, membuat janji baru, atau membawakan presentasi yang tidak bisa Jimin hadiri karena harus keluar negeri atau urusan yang lebih penting. Di kala Jimin harus pergi jauh seperti itu, Hanna melakukan pekerjaan sampingan tak tertulisnya dengan sukarela dan senang hati-menjemput Abel dari sekolah, bermain dengannya sebentar sebelum diantar pulang dan ditinggal bersama Bibi Lee.

Seperti pagi yang sudah-sudah, Hanna bertandang ke Hannam, sekarang bisa melakukannya sendiri. Keuntungan bekerja di perusahaan besar dan memiliki atasan luar biasa baik hati, baru seminggu yang lalu Jimin mengizinkan Hanna menggunakan salah satu mobilnya. Sebenarnya ada fasilitas mobil milik perusahaan yang bisa Hanna pakai, tapi Jimin berkata, "Aku yakin kau tidak akan leluasa nanti, justru terbebani, dan aku juga mengerti kau perlu kendaraan untuk keperluanmu yang lain, bukan urusan pekerjaan saja. Kau boleh pakai mobil ini."

Hanna tak percaya bagaimana santainya Jimin mengatakan itu, menyodorkan kunci mobil padanya dengan senyum menawan yang dia punya. Seolah-olah mobil itu seperti pena yang bisa dia pinjamkan pada siapapun, mengabaikan kemungkinan apakah akan kembali atau tidak. Hanna mengakui kalau dia cukup ceroboh. Hanna juga bertanya-tanya, ada berapa banyak mobil lagi yang Jimin punya di garasinya.

Sekarang Abel punya kesenangan baru yaitu menyambut Hanna di depan pintu. Hampir setiap hari ketika Hanna datang, Abel sudah mengenakan seragam. Kemeja putih berlengan pendek dan rok pendek bermotif kotak-kotak warna merah marun. Dia akan menggeret Hanna ke meja makan, di mana Papanya menyiapkan sarapan seperti biasa, lengkap dengan celemek dan lengen kemeja putih yang digulung ke atas. Sudah sering melihat pemandangan itu, tapi dada Hanna masih berdebar-debar tak karuan. Hanna tak mengerti apa yang salah dengan kepalanya.

"Pagi, Hanna. Menu hari ini roti bakar sosis dan salad buah ala Jimin dan Abel," kata Jimin, melihat Hanna sekilas sambil memotong buah. "Belum sarapan, kan?"

"Belum, Pak."

"Jimin."

"Hah?"

"Ini bukan kantor, jadi panggil aku Jimin." Jimin berkacak pinggang menghadap Hanna, tersenyum miring. "Sudah sebulan lebih tapi masih belum terbiasa, ya? Apa sesulit itu?"

Hana tertawa canggung. "Ehm, akan kucoba membiasakan diri ... Jimin."

"Nah, gitu, dong." Jimin tersenyum puas. Lalu dia melakukan gerakan itu lagi. Menyibak surainya ke belakang dengan jari. "Oh, ya, Hanna. Minggu depan kita akan ke New Zealand untuk melihat pembangunan resor. Aku sudah bilang, kan?"

Oh, Tuhan. Mati sajalah aku. Kontrol hatimu, Hanna. "Iya, Pak-eh. Jim. Iya, kau sudah bilang." Jimin mengangguk. Dia lalu berhenti bergerak dan melihati Abel yang sibuk mengoleskan selai stroberi pada roti bakar. Meski tersenyum, Hanna melihat kegundahan di wajahnya. "Ada apa?"

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now