Lima Belas

3.3K 560 119
                                    

Hanna tahu dia akan diomeli kalau tidak langsung pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hanna tahu dia akan diomeli kalau tidak langsung pulang.

Bukannya dia akan dijewer, dibentak, atau semacamnya, tapi ibu pasti akan bicara dengan nada memelas kenapa tidak memberitahu, kenapa tidak pulang dulu, kenapa tidak begini dan begitu. Hanna sudah hapal betul. Menjadi satu-satunya anak perempuan yang diapit dua saudara laki-laki kadang menyebalkan juga. Dua-duanya Jungkook dan Yoongi merasa punya otoritas untuk tahu segala hal tentang Hanna, ke mana dia pergi, bersama siapa. Yah, tidak salah, sih. Mereka sayang dan peduli. Tapi terkadang manusia juga butuh waktu untuk sendiri.

Ini hari kedua Hanna tidak masuk kerja dan sekarang dia baru saja kembali dari rumah sakit. Jahitannya sudah dilepas, perban tidak perlu dipakai lagi. Untungnya dokter luar negeri itu cukup pengertian untuk tidak menggunduli kepala Hanna terlalu banyak. Hanna sempat khawatir bagaimana bagian belakang kepalanya akan terlihat, karena sepuluh jahitan terdengar menyeramkan. Bekas luka itu masih bisa tertutupi oleh rambut, namun untuk menghindari kontak dengan debu, Hanna mengenakan topi rajut merah hati pemberian Abel.

Mengenakan jins ketat hitam dan switer senada dengan topinya, Hanna berjalan santai menuju taman bermain anak-anak di komplek rumahnya. Area ini tidak terlalu besar; sepetak kecil lahan ditutupi pasir putih dan diisi ayunan, perosotan, jungkat-jungkit dan semacamnya. Mendekati jam makan siang begini, tidak ada yang bermain di sana, jadi Hanna menempati ayunan yang terlalu rendah untuknya sampai kaki harus sedikit ditekuk. Hanna takut ayunan itu tidak bisa menahan bobot tubuh kalau digerakkan, jadi dia hanya duduk diam, mendongak menatap pohon bunga ceri berkelopak putih yang menghiasi pekarangan rumah besar di depannya.

Hanna tahu ini memalukan. Di usia segini, untuk pertama kali perasaan dibuat risau oleh eksistensi laki-laki bernama Park Jimin. Hanna sadar dirinya sudah mengagumi ayah satu anak itu sejak awal, ya, tidak lebih dari bagaimana kesukaan remaja wanita pada idola-idola di televisi itu. Hanna mengagumi dedikasi Jimin pada pekerjaan, menggiring kesuksesan perusahaan di usia cukup muda, belum lagi, dia seorang orangtua tunggal yang anaknya masih kecil dan baru masuk sekolah. Segala hal tentang Jimin memesona begitu saja, merenggut pikiran dan hati dalam waktu singkat.

Mungkin kalau situasinya tetap sama, Hanna akan mengagumi Jimin hanya sebatas itu. Sekarang, kejadian jam empat pagi itu mengambil tempat permanen di otaknya, terbayang-bayang ke manapun, apapun yang Hanna lakukan.

Tanpa sadar, jemari Hanna naik menyentuh bibir. "Tidak ada artinya untuk dia, kan? Dia tidak sengaja."

"Apa yang tidak sengaja?"

Hanna terkesiap. Keterkejutan tergambar jelas di wajah dan dia reflek menoleh ke asal suara. Min Yoongi menyodorkan kaleng kopi dingin tanpa melihat Hanna, lalu dia menempati ayunan di samping adiknya itu. Kacamata baca bertengger di tulang hidung, dengan gaya sok keren Yoongi melihat ke arah lain.

"Gila, ya, kau? Bukannya langsung pulang malah berpanas-panasan di sini."

"Kau sendiri kenapa di sini? Kafemu sudah bangkrut? Tidak ada yang bisa kaukerjakan lagi?"

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now