Dua Puluh

3.9K 556 37
                                    

Sewaktu remaja dulu, Hanna pernah berangan-angan ingin menikah sebelum usia dua puluh lima

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sewaktu remaja dulu, Hanna pernah berangan-angan ingin menikah sebelum usia dua puluh lima. Teman-teman mencerewetinya gara-gara ini, berkata dia sudah berpikir pendek.

"Kalau kau idol, umur segitu lagi seru-serunya menikmati ketenaran, tahu! Masa sudah mau menikah?"

"Kalau kau jadi wanita karir nanti, mana mungkin kau bisa berpikir begini. Lihat saja."

Pendapat pertama teman sekelas Hanna tampik habis-habisan. Dia bukan seorang idol. Hanna tidak bisa menari. Suara saja pas-pasan. Cantik juga kalau bukan ibu, ayah, atau Jungkook yang memuji Hanna tidak akan mendengar itu seumur hidup. Jadi Hanna tidak mau menempati dirinya di suatu posisi yang sama sekali bukan dia. Pendapat kedua, sih, setelah beberapa tahun Hanna baru mengerti. Sedang gencar-gencarnya meniti karir, ingin naik jabatan, ingin dipandang sebagai pekerja terbaik, meningkatkan performa agar diakui, Hanna bahkan nyaris tidak punya waktu untuk diri sendiri. Mungkin itu alasan utama perlahan pertemanan melayang begitu Hanna mencapai tahun terakhir universitas. Ketika Hanna harus mulai menyusun rencana ke perusahaan apa dia ingin melamar kerja sebelum bisa memulai bisnisnya sendiri.

Tapi toh itu tidak menampik fakta bahwa, ketika otak sedang kusut, hati layu dipenuhi kekecewaan dan kekesalan, agak menyesal dan bertanya-tanya alasannya memilih menjadi wanita karir ketimbang berusaha sedikit lebih keras untuk menjadi idol, Hanna merindukan kehidupan yang tenang. Bukan berarti hidupnya ruwet atau tidak bisa dinikmati, sama sekali tidak begitu. Rumah Hanna nyaman, kok. Walau dia sering adu mulut dengan Yoongi karena hal sepele sekali pun, mencoba bersabar membantu Jungkook mengerjakan PR matematika, rumah tetap tempat paling aman dan nyaman untuk Min Hanna. Itu juga, sebagai wanita, membuat beberapa hal berlalu lalang di kepala salah satunya keinginan membangun rumah yang nyaman miliknya sendiri. Seperti apa, ya, rasanya?

Setelah uang modal usahanya dilarikan terakhir kali, Hanna nyaris menyerah. "Menikah sajalah aku, Bu. Sudah tidak tahan," rengek Hanna di hadapan ibu dan ayah yang menatapnya iba.

"Heh, mau menikah dengan siapa kau? Pacaran saja tidak pernah, mau minta dinikahkan." Mulut Yoongi itu memang tidak ada saringannya, begitu juga hati dan otak. Tidak bisa melihat keadaan saat adik perempuan di ambang depresi karena masa depan tidak jelas.

"Kau, kan punya banyak teman. Kenalkanlah satu padaku, Yoong."

"Cih. Terus mau menikah begitu saja? Kau pikir kehidupan ini dongeng?"

"Carikan saja aku jodoh!" Hanna menangis keras mendramatisir, lalu menghempas kepala ke meja. Sakit, sih. Tapi masa bodohlah.

Ujung-ujungnya, ya Hanna mempertanyakan perihal jodoh itu sendiri. Kurasa jodoh itu tidak benar-benar ada. Kau bertemu seseorang yang menarik, lalu berusaha keras terlihat baik di depan orang itu, menyukai yang dia suka, menyesuaikan diri sebisa mungkin, mempelajari gerak-gerik dan caranya melihat dunia. Dengan lugu berpikir punya pandangan yang sama, padahal diri sendiri yang mengubah cara pandang atas sesuatu demi orang lain. Citra orang itu di benak yang sebenarnya dicintai, berharap dia bisa memberi 'kebahagiaan', jadi, ya dimabuk cinta dan mau melakukan apa saja. Hanna hanya kurang setuju konsep tentang jodoh; pasangan yang ditakdirkan oleh langit untuk bersama sehidup semati. Nyatanya, kita tidak benar-benar tahu. Hanna yakin ibu dan ayahnya saling mencintai juga dulu, pasti percaya bahwa mereka adalah jodoh masing-masing, tapi lihat ke mana waktu membawa : perpisahan. Mungkin jodoh sebenarnya ibu adalah ayah Yoongi. Atau kemungkinan kedua, mereka hanya sama-sama ingin melanjutkan hidup demi Yoongi dan Hanna. Jungkook muncul di tengah-tengahnya.

Edenic {✓} SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang