Tujuh

3.2K 587 62
                                    

"“Jimin, katakan sesuatu!”Jimin bergeming

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"“Jimin, katakan sesuatu!”

Jimin bergeming. Tatapannya menukik tajam pada Hwang Jiyeon.  Sementara itu Hanna berdiri canggung di sampingnya, dengan organ dalam yang bergejolak tak nyaman. Jantungnya serasa lepas dan menghantam dasar perut ketika tatapan Jiyeon jatuh padanya.

“Hm. Kulihat kau sudah tidak sendiri,” ucapnya sembari memiringkan kepala dengan antagonis, kembali pada Jimin. Senyumnya membuat Hanna mual.

“Apa urusannya denganmu?” balas Jimin datar.

“Sudah kuduga. Sejak awal aku tidak yakin kau akan mampu membesarkan seorang anak sendirian.”

Di situasi berbeda, Hanna mungkin sudah menyerocos protes pada wanita misterius ini tentang betapa keliru asumsinya. Bukan hanya seputar dia yang berspekulasi bahwa Hanna dan Jimin sedang bersama, namun juga asumsi bahwa Jimin tidak mampu membesarkan Abel. Sendirian. Pertanyaan yang sama diputar lagi di kepala Hanna. Kenapa Jiyeon baru muncul sekarang?

“Di mana Chaeyeon, Jim? Aku ingin bertemu dengannya.”

“Aku tidak tahu kau bicara apa.”

Jiyeon mendengus. “Ah, iya. Kau mengganti namanya menjadi nama aneh kebarat-baratan itu. Maksudku, Abel.”

“Menurutmu di mana dia selarut ini? Bagaimana kau bisa menemukanku?”

Alis Hanna menekuk tatkala Jiyeon tidak langsung menjawab. Manik kelam wanita itu bergerak gelisah seolah membaca raut wajah Jimin.

“Aku hanya kebetulan melihatmu. Temanku bekerja di restoran ini dan ingin mengajaknya minum, sekalian mengembalikan mobilnya.” Jiyeon menggestur pada mobil di seberang jalan.

“Aku kira kau sudah meninggalkan Korea.”

Raut wajah Jiyeon mengeras. “Aku ingin bertemu Abel.”

“Ini sudah malam. Pulanglah,” tutur Jimin tegas. Dia kemudian berbalik hendak membukakan pintu mobil untuk Hanna, sebelum lengannya dicengkeram kasar.

“Kau tidak bisa menghalangiku bertemu anakku seperti ini,” desis Jiyeon.

“Siapa yang menghalangimu? Biar aku ingatkan padamu kalau saat ini sudah hampir tengah malam. Kembalilah lain waktu dan kita bisa bicara.”

“Aku akan menagih itu.” Jiyeon akhirnya melepas cengkeraman. Matanya yang berkelopak ganda menatap Hanna penuh keengganan, namun terlihat terhibur secara bersamaan. “Senang bertemu denganmu. Semoga kalian bahagia.”

Berkendara mengantar Hanna ke rumah diliputi keheningan. Tidak ada suara selain deru rendah mesin mobil dan gemerincing mainan boneka salju di spion dalam. Tidak sepatah kata pun melesat dari Jimin. Hanna menjadi patung di kursinya, pikiran bergejolak dalam diam. Jiyeon itu cantik, sekarang Hanna paham kenapa Abel jadi anak kecil yang menawan, sebab terlahir dari orangtua seperti Jimin dan Jiyeon. Meski dalam temaram, sekali lihat Hanna bisa melihat kemiripan antara ibu dan anak itu. Mereka memiliki fitur wajah yang serupa. Abel lebih mirip ibunya.

Diam-diam Hanna melirik Jimin. Bahkan kedua lengannya tampak dingin dan kaku mencengkeram roda kemudi, dijatuhi sinar lampu jalanan dan cahaya toko-toko dan bangunan yang berkelebat. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Mungkin dia terlalu terkejut atas pertemuan mendadak dengan mantan istrinya tadi, sampai tidak menyanggah tudingan sembarang dari Jiyeon.

Aku dan Jimin? Yang benar saja.

Sesampainya di tujuan, Jimin mengikuti Hanna menaiki tangga menuju teras rumah. Lampu ruang tamu lantai bawah masih menyala dan samar-samar Hanna mendengar suara televisi. Pasti Jungkook begadang lagi menonton serial dokumenter.

“Aku akan bawa Abel ke bawah,” ucap Hanna. Hanya sesaat setelah dia berbalik, langkah Hanna terhenti dan dia memutar tumit menatap Jimin yang telah melingkarkan genggaman di pergelangan tangannya. “Ya?”
Sesuatu seolah bergerak di ulu hatinya, menciptakan ketidaknyamanan di dada. Jimin menatapnya lelah dan sedikit sirat kebingungan.

“Maaf atas kejadian tadi, ya.”

Hanna menuruni satu anak tangga, mengikis jarak antara dirinya dan Jimin. “Hei, tidak ada yang perlu dimaafkan soal tadi.”

“Aku tidak mengoreksi asumsi Jiyeon. Kau pasti risih, dan aku malah diam saja.”

Please, deh. Tidak usah dipikirkan.” Hanna berusaha sebisanya agar terdengar akrab.

Jimin diam lagi, tatapannya jatuh pada pautan tangan mereka sejenak. “Aku mengerti kalau misalnya ada yang ingi kautanyakan. Akan kujawab sebisanya.”

“Apa?”

“Pasti kau penasaran setengah mati,” ujar Jimin seolah bisa membaca pikiran wanita di hadapannya itu, sembari melontarkan seutas senyum. “Aku tahu kau bukan tipe orang yang bisa menahan keingintahuan. Kau kurang keren untuk menyembunyikan wajah penasaranmu.”

“Oh, itu. Haha. Aku ketahuan, ya.” Hanna terkekeh cenggung. “Maaf, tapi aku melihat akta kelahiran Abel tadi pagi. Aku tahu itu lancang sekali, tapi berkas itu ada di pangkuanku selama beberapa waktu dan lampu merah di persimpangan selalu memakan waktu, jadi yah ... Maaf sekali lagi.”

“Aku mengerti.”

“Jadi, em ... dia benar ibunya Abel?”

“Iya.”

“Begitu, ya.”

“Itu saja? Alismu masih menyatu, kau tahu.”

Hanna reflek menutupi kening dengan telapak tangan, bersemu semerah tomat. “Aku akan pura-pura tidak dengar kau bilang apa barusan.”

“Tanyakan saja kalau kau memang masih bingung.”

“Anu ... itu, bukan hal penting sih. Aku hanya mendengar rumah yang sering dibicarakan orang-orang tentang ... kau tahu, mereka bilang mantan istrimu sakit dan sudah....”

“Meninggal?” Jimin terkekeh. “Aku sudah mendengar banyak versi dari cerita itu.”

“Kalau itu tidak benar, kenapa tidak kau jelaskan saja? Supaya mereka berhenti berspekulasi yang tidak-tidak.”

Jimin mengembus napas berat, bersandar nyaman pada pegangan tangga dan membawa tangan Hanna yang daritadi dipegangnya ke sana juga, melepas cengkeramannya dengan gerakan canggung. “Aku hanya merasa itu tidak ada gunanya. Kita tidak bisa memuaskan semua orang. Mereka bisa berpendapat sesukanya. Aku tidak merasa perlu menjelaskan perihal pribadi itu pada siapapun.”

“Tapi kau memberitahuku,” kata Hanna, tersenyum miring.

“Aku hanya tidak ingin kau salahpaham.”

Ada yang ingin Hanna sanggah sebenarnya, karena dia sedikit bingung. Mereka di luar sana masih akan menyebar spekulasi, rumor tidak sedap, bahkan, dan masing-masing akan beranggapan bahwa spekulasi dan asumsi mereka yang paling benar. Di lain sisi, Hanna bisa mengerti kenapa Jimin melakukan yang sedang dia lakukan. Kenapa pula dia harus bersusah payah menjelaskan situasi kehidupan pribadinya pada semua orang?

Setelah itu, Hanna masuk ke rumahnya, mendapati Jungkook tertidur di sofa. Televisi masih menyala. Hanna menaruh tas di meja lalu mengguncang pelan tubuh adiknya. Jungkook menggeliat malas persis seperti anak kucing sehabis tertidur kekenyangan setelah bermain seharian.

“Pindah ke kamarmu, Kook. Kebiasaan, deh. Menonton TV sampai tertidur begini. Bisa sakit kepalamu besok pagi.”

“Kenapa pulang larut sekali?” tanya Jungkook masih terkantuk-kantuk.

Hanna mendengus, mengacak rambut hitam Jungkook yang berantakan. “Kau sekhawatir itu, ya?”

Hyung itu mencurigakan. Dia tidak berhenti senyum padamu, seperti orang gila.”

“Tidak usah konyol. Pergilah ke kamarmu.”

Abel setengah terbangun ketika dia berpindah tangan dari gendongan Hanna ke gendongan Jimin. Dia bergumam tidak jelas dengan satu tangan menggapai-gapai udara.

“Puisiku.”

“Hm?” Jimin menyisir rambut dari kening Abel, berkata dengan suara lembut. “Kau bilang apa?”

“Tas.” Abel bergelung nyaman di gendongan ayahnya, sebelum kembali terlelap dalam sekejap.

Hanna membawakan tas Abel, menemani mereka ke mobil. Setelah Jimin menidurkan Abel di kursi belakang, Hanna menyodorkan tas itu pada Jimin. “Abel bercerita bahwa tadi mereka diajarkan menulis puisi. Dia membuat satu untukmu. Katanya mau diberikan sendiri padamu.”

“Dia bilang begitu?”

“Yup. Asal kau tahu saja, aku sudah baca. Sedikit saja. Tidak sanggup kuselesaikan, soalnya ... nanti kau pasti mengerti, deh.”

Jimin tertawa pelan. “Baiklah,baiklah. Terima kasih karena tidak membocorkan apapun. Kami pulang dulu. Terima kasih, Hanna. Sampai jumpa besok.”

Setelah memastikan mobil Jimin berbelok di ujung jalan, Hanna kembali ke dalam. Jungkook sudah tidak di sofa, dan sedetik kemudian Hanna mendengar suara pintu ditutup dari lantai atas. Hanna memungut tas dari meja, lalu menoleh mendengar kerincingan kunci.

“Kukira kau sudah tidur,” kata Yoongi sembari melepas jaket kulitnya.

“Aku juga baru sampai, kok.”

“Mampir ke mana dulu kalian?”

“Tidak ke mana-mana.” Hanna membiarkan Yoongi lewat di depannya, menyisakan aroma parfum yang sudah sangat familier dan nyaman. Sembari kedua mata mengikuti ke mana abangnya melangkah, Hanna menimbang-nimbang. Dia tahu dia harus bertanya. Hanna juga tahu kalau Yoongi pasti tahu. Mereka sudah berteman sangat lama, tidak mungkin Yoongi tidak kenal mantan istri Jimin. “Kau kenal Hwang Jiyeon?”

Yoongi yang baru saja membuka pintu kulkas mematung seketika, lehernya berputar dengan alis terangkat, mengingatkan Hanna pada burung hantu. “Bilang apa barusan?”

“Hwang Jiyeon. Mantan istri Jimin.”

Kening Yoongi semakin berlipat-lipat. “Bagaimana kau bisa tahu nama itu?”

“Aku ditugaskan mengurus paspor Abel hari ini.”

“Dik, itu tidak sopan.”

“Kami juga bertemu dengannya tadi.” Hanna mengabaikan, berusaha terdengar santai. “Di depan restoran.”

“Kami? Kau dan Jimin?”

“Iya.”

“Sudah lima tahun aku tidak mendengar kabar apapun tentangnya.”

“Sudah kuduga kau kenal dia.”

“Aku akan jadi seorang pembohong besar kalau kubilang aku tidak kenal. Tidak usah ikut campur apapun mengenai dia. Jauh-jauh saja,” cecar Yoongi sembari meraih botol air mineral dari dalam kulkas.

“Kenapa? Ada apa memangnya? Kenapa mereka bercerai? Aku jadi bingung. Kenapa hak asuh Abel bisa ada pada Jimin? Abel, kan anak dibawah umur. Bukankah biasanya Ibu selalu menang di persidangan? Kecuali situasi tertentu.” Hanna mengekori Yoongi ke manapun dia melangkah, dan saat Yoongi tiba-tiba berputar pada tumitnya, Hanna reflek ikut berhenti, nyaris menabrak hidung abangnya yang menatap tak nyaman. “Kenapa? Apa yang salah pada Jiyeon?”

“Kenapa kau ingin tahu?”

“Karena aku ingin tahu. Harus tahu.”

“Kenapa harus?”

“Apa salahnya? Aku sempat beradu tatap dengannya tadi dan rasanya ada yang tidak beres. Kau tahu tidak, sih, kalau Jimin mengganti nama lahir Abel? Dia juga aneh, dengan spontan mengira aku dan Jimin berpasangan, seolah dia sudah memprediksi. Aku hanya butuh tahu aku berhadapan dengan orang seperti apa.” Setelah beberapa detik, Hanna baru menyadari betapa konyol dia terdengar. “M-maksudku....”

“Kau suka pada Jimin, ya?” tuding Yoongi.

“Hah?”

Yoongi menggelengkan kepala dan tertawa rendah. “Kau ini mudah sekali ditebak, Han.”

“Itu tidak benar!” Hanna menyanggah. Dia merebut botol air dari tangan Yoongi dan menaruhnya di atas  meja agak kesal. “Tinggal jawab saja kenapa, sih?”

“Sekarang tatap aku dan bilang kau tidak menyukai Jimin.”

“Sudah tidak waras, ya? Kenapa pula harus kulakukan itu?”

“Coba saja katakan.”

“Ck. Kau menyebalkan.” Hanna berbalik dan berderap kesal menuju tangga. Dia nyaris memprotes saat Yoongi mencengkeram lengan, membuatnya balik badan. “Apa lagi, Jelek?”

“Tidak usah terlalu banyak ikut campur urusan apapun menyangkut Hwang Jiyeon.”

“Kalau itu termasuk Jimin dan Abel, sepertinya kemungkinannya kecil sekali, Tuan.” Hanna bertutur sarkastis.

“Kalau kau khawatir bahwa mereka akan bersama lagi, itu tidak akan terjadi, jadi kau tenang saja. Aku tidak akan memprotes heboh, setidaknya tidak untuk sekarang, kalau kau memang tertarik pada Jimin, secepat ini pula, karena aku tahu sahabatku itu magnet wanita macam apa. Kecuali otaknya benar-benar rusak, Jimin masih akan menduda untuk sementara.”

“Jadi, kenapa mereka bercerai?”

“Itu rumit. Aku akan tinggalkan pertanyaan yang satu itu untuk dijawab langsung oleh Jimin. Soal hak asuh, pengadilan punya alasan kenapa tidak diberikan pada Jiyeon. Dia sendiri juga bungkam dan tidak banyak bicara untuk menuntut hak-haknya.”

“Alasan apa?”

Yoongi melepas tangan Hanna dan mengubah arah menuju kamar mandi, melangkah perlahan melihat si adik mengekorinya. “Dia pernah menelantarkan anak mereka, pergi dalam waktu yang lama tanpa alasan jelas. Pengadilan tentu tidak akan percaya padanya begitu saja.”

“Tunggu.” Hanna menyejajarkan langkah dengan Yoongi. “Anak? Mereka punya anak lain? Tidak Cuma Abel? Di mana dia sekarang?”

Yoongi menahan kenop toilet, mendesah pelan. “Anak itu sakit-sakitan sejak bayi. Jimin hampir gila, aku tidak pernah melihatnya seterpuruk waktu itu. Dia juga tidak tahu harus mencari Jiyeon ke mana.”

“Lalu?”

“Anak itu meninggal.”

Seketika lidah Hanna terasa kelu. Lantai rumah terasa seperti balok es disebalik kaus kakinya.

“Jadi ya, satu alasan itu saja sudah cukup  menegaskan bahwa Jimin tidak akan pernah kembali pada Jiyeon.”

“Yoong, tunggu.”

Namun Yoongi sudah keburu melambaikan satu tangannya meminta Hanna menyudahi percakapan. Pintu kamar mandi ditutup di depan hidungnya dan Hanna bergeming untuk waktu yang lama. Tidak terpikirkan olehnya neraka macam apa yang sudah dilalui Jimin seorang diri di usia yang relatif muda untuk menjadi orang tua. Meski dia sendiri belum memiliki anak, namun Hanna mengerti bahwa kehilangan darah daging tidak pernah menjadi perkara sepele untuk orangtua manapun. Terlebih karena alasan itu....

“Astaga, Tuhan....”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


9.11.2018
{re-pub on Nov 22, 2020}

Hello!
Aku nggak tahu kapan chapter berikutnya bisa menyusul. Maaf kalian udah menunggu lama.
Makasih karena kalian masih di sini.
Maybe one day I will be brave enough to share what happened behind the scene.
Your support means a lot to me.

Thank you so very much!

Edenic {✓} SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang