Dua Puluh Enam

2.3K 439 90
                                    

A/n : part ini sempat kuhapus, ini sekarang kukembalikan, hehe. Happy reading! (Versi Cetak masih ready di shopee, yaa)

Park Jimin melangkahkan kaki secepat mungkin meninggalkan lift. Jas digenggam di satu tangan, tangan lain sibuk mencari nomor di ponsel, isi kepala semrawut dan sumpah serapah dipendam setengah mati agar tak terucap.

Parkiran bawah tanah berpencahayaan redup. Beton kelabu yang menopang beban lebih dari lima puluh lantai di atasnya seolah menjerit dalam diam, mengirim kesan seram ke semua penjuru. Cahaya dari lampu-lampu panjang menyapa suram ketika kedua tungkai pemilik gedung melintas menuju mobilnya yang menunggu sendirian sejak beberapa jam lalu.

"Di mana dia sekarang?" Jimin berkata tajam. Suara rendahnya bergaung samar di parkiran tak berpenghuni selain dirinya dan beberapa mobil karyawan yang sengaja ditinggal. Dari jarak beberapa meter, dia membuka kunci pintu mobil sembari mendengarkan orang di seberang telepon bicara. Tahu-tahu dia berhenti, alis menukik tajam. "Apa maksudnya tidak ketemu?"

"Saya sudah mengikutinya sejak tadi pagi, Pak. Tapi sekarang saya kehilangan jejak."

Sial. Jimin mendecak frustasi. Ini di luar perkiraan. "Coba cari sebisa mungkin. Aku harus pulang sekarang."

Tidak ada hal lain bercokol di kepala Jimin selain Hanna dan Abel. Bahkan rapat besar yang baru saja berakhir serta setumpuk dokumen yang harus diperiksa dan ditanda tanganinya seorang diri beberapa saat lalu melebur total, menguap dan hilang di udara. Kalau Jimin diminta meringkas isi rapat tadi keesokan hari, seratus persen dia tak bisa melakukan itu. Sepanjang hari konsentrasinya terbagi : rapat sialan itu dan situasi memuakkan yang harus dia hadapi.

Sampai beberapa saat lalu dia masih bertukar pesan dengan Hanna. Wanita itu mengaku dia cemas setengah mati, tidak sepenuhnya tentang diri sendiri, tapi pada Jimin yang terjebak di ruang rapat. Pemikiran yang sama juga melekat seperti perangko meski Jimin menyadari dia tidak menangani dan merespon situasi dengan cekatan. Konsentrasinya berpusat pada satu orang : Kang Kyungjoon. Jadi sebelum melapor ke polisi tanpa bukti dan membuat keadaan runyam serta tersebar luas, Jimin meminta bantuan seorang teman untuk mengawasi pria sialan itu.

Semua berjalan baik. Sampai laporan via telepon barusan.

Seperti hewan buas; jika mangsanya tak bisa didapat di satu waktu, maka dia akan mencoba lagi kapan pun kesempatan terdeteksi. Jimin mengenal Kang Kyungjoon seperti itu.

Kekhawatirannya bercabang antara Kyungjoon mengintai Hanna dan Abel di rumah atau menghadang mereka di jalan menuju apartemen. Ah, tidak mungkin. Terlalu mencolok. Namun pada nyatanya, si empunya nama yang membuat kepala Jimin berdenyut nyeri berdiri tak jauh darinya, memerhatikan ayah satu anak itu hendak membuka pintu mobil dengan seulas senyum miring.

"Mencariku, ya?"

Seluruh indera bereaksi cepat, Jimin mendapati presensi Kyungjoon beberapa meter di hadapannya dengan bomber jacket, kaus hitam, dan jins sobek yang tergerus pemutih. Lantas Jimin menutup lagi pintu mobil. Ia maju beberapa langkah, tawa getir lolos dari bibir karena luput dari satu kemungkinan lain. Tentu saja. Masalahnya ada denganmu, tentu dia akan mencarimu.

"Aku agak kaget."

Bibir tipis merah gelap itu merangkai sebuah senyum. "Ah, masa, sih? Lebih kaget mana daripada aku ketika sadar sedang dibuntuti?" Mata sipit Kyungjoon dipicingkan hingga Jimin ragu apakah dia bisa melihat lewat celah sempit itu. Dia lanjut berkata, "Sepertinya orang-orangmu kurang cerdas, ya?"

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now