Dua Puluh Delapan

2.8K 443 198
                                    

Tumpukan salju di bawah sana berkilau ditimpa cahaya matahari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tumpukan salju di bawah sana berkilau ditimpa cahaya matahari. Meski suara kendaraan di luar berdengung tinggi rendah seperti sarang lebah di kejauhan, atmosfir di dalam ruangan lantai dua puluh lima teredam dan sunyi seolah hampa udara. Park Jimin menatap foto di atas meja sedikit lebih lama. Pertanyaan acak kadang muncul di kepalanya, "Apa yang dipikirkan Park Jimin di foto ini?"

Park Jimin dengan pakaian rapi bak pangeran kecil; kemeja, setelan jas hitam, dasi kupu-kupu. Lalu diapit Namjoon yang tinggi jangkung serta si kurus Hoseok yang senyumnya lebih menawan daripada matahari pagi. Di belakang mereka, berdiri ayah dan ibu. Tinggi dan tampan, switer berleher tinggi, setelan jas, kaca mata, rambut hitam dengan sedikit uban di sana-sini. Lalu ibu, gaun merah marun berkerah, rambut disanggul tinggi, lalu senyumnya yang menenangkan.

Waktu itu memang menyenangkan sekali. Hari berfoto. Setelah selesai mengambil foto buku tahunan di sekolah, ketiganya berlari pulang tak sabaran untuk berfoto lagi di rumah. Ayah bahkan rela tak masuk kantor, karena sesudahnya tiga pangeran memohon diajak jalan-jalan.

Mungkin waktu itu adalah momen-momen paling menyenangkan di hidup Jimin. salah satunya, tepatnya.

Sekarang ayah dan ibu sudah tidak ada.

Tapi tidak apa-apa. Jimin tidak sendirian. Tidak akan pernah sendirian lagi. Apalagi setelah cincin emas berdesain sederhana melingkar di jari manisnya. Memang tidak sempurna. Tidak ada yang sempurna. Tapi Jimin bahagia.

Mengabaikan tatapan simpati asisten barunya, Jimin mengambil jas di punggung kursi. "Kalau mau, kau boleh temui Jung Minhee di lantai tujuh. Aku sudah memberitahu dia kau akan datang. Jangan ragu untuk bertanya apa saja, ya. Dia akan membantu."

"Oh, apa Nona Jung ini asistenmu yang dulu, Pak?"

"Bukan, sih. Asisten sebelumnya itu--"

"Ada di sini."

Jimin menunduk dan tertawa pelan melihat ekspresi terkejut Kim Mingyu ketika dia menyadari presensi orang lain di dalam ruangan selain mereka berdua. Sontak kepelanya langsung menoleh ke tengah ruangan. Min Hanna duduk di sana, bersandar ke punggung sofa yang empuk dan satu tangan di atas perut yang membengkak. Wanita itu menggeleng dengan segaris senyum lurus.

"Jimin. Kenapa, sih, suka sekali merepotkan Minhee sunbae? Bagaimana kalau dia sedang sibuk? Aku, kan ada di sini."

"Karena, Nyonya park." balas Jimin dengan nada formal, "kau tidak seharusnya ada di situ."

"Oh, iya. Aku sudah dipecat. Lupa. Maaf." Hanna menjawab cuek, lalu kembali duduk lurus dan membuka katalog di pangkuannya lagi.

Iba sekaligus tak tahan ingin tertawa melihat kebingungan absolut di wajah Mingyu, Jimin berkata, "Itu istriku. Min Hanna. Kau di sini untuk menggantikan tempatnya."

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now