Dua Puluh Lima

2.3K 434 111
                                    

(unedited)

"Yoong, mau ke mana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yoong, mau ke mana?"

Hanna menatap cemas saat Yoongi berdiri. Ponsel abangnya itu baru saja berdenting beberapa kali dan Yoongi tidak mengalihkan pandang pada Hanna sedikit pun.

"Ke kamar sebentar. Mengurus laporan. Ini tentang cabang kafe baru."

Hanna ingin bergerak protes, tapi gerakannya tertahan karena bobot ringan di pangkuan. Bocah kesayangan sudah terlelap dan menjadikan paha Hanna sebagai bantal. "Dikerjakan di sini saja tidak bisa?"

"Sebentar saja, kok," kata Yoongi sambil melangkah menjauh. "Aku sudah kirim pesan pada Jungkook supaya cepat pulang."

"Yoong, serius, deh. Di sini saja, ya."

Yoongi berbalik dan menatap adiknya sesaat, berpikir. "Kau benar-benar yakin kuncimu hilang?"

Hanna menatap tak percaya. Sefrontal apapun bahasa yang Yoongi gunakan kalau mereka bertengkar karena hal konyol, atau seberapa tajam sindirannya, Hanna tidak pernah terlalu memikirkan mereka, hanya dianggap sebagai angin lalu. Tapi yang satu ini tidak begitu karena Hanna merasa kecewa. "Kau tidak percaya padaku?"

"Bukan begitu," Yoongi menggaruk tengkuk, sekejap merasa tak enak hati, "maksudku, kau di rumah Jimin semalaman. Mungkin kuncinya tercecer di sana."

"Kalau kuncinya jatuh aku pasti sudah dengar."

"Memangnya apa lagi yang kau gantungkan bersama kunci itu? Bukannya mainan kuncimu yang boneka salju itu, ya? Kalau jatuh mungkin tidak bersuara."

"Ada cadangan kunci mobil, kunci lemariku, kunci kamarmu dan kunci kamar Jungkook. Tidak mungkin tidak berbunyi kalau jatuh."

Wajah Yoongi berubah sedatar tembok sejenak. "Kenapa, sih kunci kamarku diduplikat? Siapa yang suruh?"

"Supaya aku bisa mengguyurmu dengan air kalau tidak mau bangun."

Yoongi merotasi mata lalu mengembus napas berat. "Jimin pulang jam berapa?"

"Dia masih terjebak meeting."

"Aku tak percaya dia masih mengurus rapat sialan itu dalam keadaan begini, kalau memang dia menanggapimu serius."

Sungguh Hanna ingin mencolok mulut Yoongi dengan garpu sekarang, tapi suasana hatinya sudah terlampau buruk. Hanna menatap Yoongi lekat dan berkata, "Kau tidak lihat wajahnya tadi? Dia merencanakan sesuatu."

Bibir Yoongi membentuk segaris lurus sempurna, lalu melanjutkan, "Kuharap rencana itu untuk membekap Hwang Jiyeon. Wanita itu benar-benar sudah gila."

"Kurasa tidak begitu."

Yoongi mengangkat sebelah alis. "Terus?"

"Bukan Jiyeon. Kemarin, aku-" Apa benar-benar harus bilang semua? Kejadian itu sangat memalukan. Di depan publik. Sangat bodoh karena tidak melawan. Cuma bisa menangis. Dasar, lemah. Mengatakan kunciku hilang saat bersama Jiyeon sudah cukup, kan? Hanna selalu merasa sangat buruk saat dia tahu hati kecilnya mengutarakan kebohongan, karena faktanya, tidak ada hubungan dengan Jiyeon. Bukan Jiyeon.

Edenic {✓} SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang