Dua Puluh Tiga

4.1K 512 171
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Menunggu hari Sabtu itu rasanya lama sekali.

Bukan karena Hanna ingin satu hari partikular itu cepat-cepat datang, mungkin alasan yang lebih tepat adalah karena dia ingin kemelut tidak nyaman di dada cepat hilang.

Hanna bahkan tidak benar-benar yakin dia merasa cemas untuk apa atau untuk siapa. Berkali-kali Hanna mengatakan pada dirinya bahwa kecemasan itu tentu saja tidak datang dari apa yang telah terjadi, melainkan untuk apa yang akan terjadi. Hanna ingin percaya begitu.

Sudah beberapa hari berlalu sejak dia melepaskan keperawanan dengan senang hati pada Park Jimin. Sudah cukup berpengalaman di dunia kerja, Hanna sadar betul pada satu aturan tak tertulis yang sebaiknya jangan pernah dilanggar : jangan berkencan dengan bosmu. Masalahnya, Hanna tahu itu sudah terlambat sekali sekarang. Orang-orang tahu kalau mereka dekat, lantas apalagi yang bisa disembunyikan? Tentu saja dia tidak akan dengan gamblang menyerukan di lobi bahwa, “Hei! Aku tidur dengan Park Jimin!”.

Tentu tidak. Itu cari mati namanya.

Opsi lain, jika perasaan pada atasan itu tulus adanya, salah satu di antara mereka berdua mungkin harus menyerahkan surat pengunduran diri. Kalau yang satu itu, ya, sudah jelas, dong siapa yang harus hengkang. Sedikit tidak rela, tapi kalau memang harus sampai begitu, Hanna rela bekerja jadi pelayan Kim Seokjin saja di restorannya.

Jujur saja, Hanna benar-benar merasa tolol dengan memikirkan segala macam skenario itu.

Yang jelas, Hanna tidak bisa melihat Park Jimin dengan cara yang sama lagi setelah malam itu. Bukan hal yang benar-benar buruk, hanya saja wajahnya akan bersemu merah dengan cepat setiap kali mereka beradu tatap. Jimin akan melempar senyum super manis padanya dan boom! Wajah Hanna akan berubah semerah tomat sampai semua orang di ruang pertemuan mengira dia terkena demam mendadak. Dirinya yang sekarang sudah melihat setiap inci tubuh itu tanpa busana tidak bisa berhenti merepetisi apa saja yang sudah mereka lakukan. Katakanlah ini pikiran mesum, tapi siapa yang mampu menahan diri jika sudah berhadapan dengan Park Jimin yang, bisa dibilang, juga sudah membuka hati dan menyerahkan diri sepenuhnya.

Jadi sepanjang pagi itu Hanna tidak bisa berhenti menahan senyum, menciptakan gambaran mesra di kepala selayaknya novel romansa, menerka-nerka apa lagi yang bisa mereka lakukan dan kapan akan dilakukan. Belum lagi sekarang setiap gestur bahkan yang paling sederhana sekali pun jadi luar biasa istimewa, misalnya mereka akan berpegangan tangan setelah mengantar Abel ke gerbang sekolah, berjalan pelan kembali ke mobil sembari mengobrol ringan tentang menonton film di bioskop, mencari destinasi liburan, atau kado untuk ulangtahun Abel berikutnya.

“Hei, buatkan kopi untukku sekalian, dong.”

Hanna terkesiap sejenak. Kepala reflek menoleh ke asal suara di belakangnya. Min Yoongi dengan rambut hitam berantakan dan piyama putih polkadot menduduki kursi paling pinggir di meja makan sambil menggaruk kepala.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now