Tiga

4.5K 642 103
                                    

[edited]

Hari berganti, namun ingatan Hanna tentang Park Jimin masih sangat segar.

Setelah hari itu, Hanna jadi ingin tahu lebih banyak tentang Jimin. Sayangnya, tidak banyak yang bisa ditemukan di internet selain beberapa foto dan berita dari peresmian tertentu. Tidak ada informasi seputar keluarga, meski secara singkat salah satu artikel menyebutkan bahwa dia punya saudara laki-laki. Brothers. Artikel itu berbahasa Inggris. Jimin juga tidak memiliki akun sosial media, sehingga tidak ada foto ataupun sekadar nama. Ayahnya sudah tiada karena masalah kesehatan serius, setidaknya itu yang Hanna tahu. Tidak ada apapun tentang ibunya, apalagi istrinya.

Jujur saja, Hanna merasa agak kurang ajar dengan memeriksa latar belakang orang seperti ini. Terlebih, ingin mengetahui tentang kehidupan pribadi orang tersebut. Ini mengingatkan Hanna pada kelakuan penggemar fanatik di luar sana yang entah bagaimana bisa mendapatkan foto tidak resmi dari masa kecil idola mereka. Namun di saat yang sama, Hanna juga berpikir, bukankah ini yang memang terjadi? Konsekuensi seorang selebriti, di mana garis antara informasi umum dan personal memburam.

Jimin memang bukan seperti selebriti di televisi atau acara musik, tapi statusnya kurang lebih sama di antara para pengusaha besar. Dia masih muda, kaya, cerdas, dan dikenal karena sikap yang luar biasa baik, sopan, dan rendah hati. Hanna bahkan baru tahu kalau GoldenCloud punya yayasan yang menampung anak-anak yatim piatu dan membiayai mereka sekolah.

Semakin banyak kita memberi dan berbagi, semakin banyak kita menerima.

Orang-orang kaya itu suka membagikan harta mereka secara sukarela. Meski beberapa yang Hanna kenal juga pelit bukan main--membuat gadis itu ingin menyumpahi mereka supaya mati tersedak uang koin--banyak juga dari mereka adalah orang dermawan yang mencoba membuat dunia menjadi sedikit lebih baik. Hanna sangat mengagumi mereka. Menurutnya, itulah alasan kenapa mereka hanya menjadi semakin kaya dan sahaja.

Hanna masih mengenakan piyama Doraemon ketika keluar kamar. Jam enam pagi, Hanna sudah mendengar kelontangan piring dan peralatan makan dari lantai bawah. Hanna menunduk dari beranda lantai dua, disambut ibunya yang sedang mengeluarkan piring dan gelas dari lemari untuk disusun di meja makan.
Rambut ibu tidak terlalu tebal seperti milik Hanna namun mereka punya warna kecokelatan yang sama. Kerutan halus di sudut mata ibu tampak kentara kalau dia tersenyum namun garis usia itu malah membuat ibu terlihat semakin manis dan awet muda. Pada putrinya yang masih bau iler, ibu meminta tolong untuk membangunkan Jungkook.

Hanna mengangguk. Kelopak matanya masih terasa agak berat karena sesi menonton drama western favoritnya yang baru disudahi setelah jam dua pagi. Sambil mengikat rambut yang berantakan, Hanna masuk ke kamar Jungkook yang terletak di sebelah kamarnya.

Aroma parfum laki-laki yang menyengat menyerbu hidung Hanna ketika dia membuka pintu, seketika mengingatkan Hanna pada aroma Jimin yang manis dan segar, lalu merutuki betapa buruk selera Jungkook dalam memilih parfum.

"Ugh, sumpah hidungku jadi sakit begini. Berapa botol kauhabiskan dalam sebulan, Jung? Seleramu norak," oceh Hanna.

Si pemilik kamar tak menggubris sama sekali karena masih bergelung nyaman di bawah selimut. Hanna mengambil bantal yang berserakan di lantai. Dia juga tidak mengerti bagaimana tepatnya si adik bungsu itu tidur. Semua bantal ada di bawah dan remaja itu hanya bertemankan selimut.

Hanna mengayunkan bantal di tangan dan dihantamkan ke badan Jungkook. "Bangun, astaga. Nanti kau ditinggal Yoongi."

"Ahh, sebentar lagi! Pergi sana, pergi."

"Kubilang bangun, ya, bangun."
Jungkook tidak bergerak.
"Hei, tidak dengar, ya?!"

"Lima menit lagi."

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now