Dua

4.2K 689 82
                                    

[edited]

Mungkin Hanna adalah definisi tepat dari ‘mendadak blank’.

Setelah berjabat tangan dengan Jimin di koridor, konsentrasi gadis dua puluh enam tahun itu benar-benar buyar dan dia nyaris lupa bahwa tujuannya ke sana adalah memberi kesan terbaik agar diterima bekerja. Hanna tidak bisa melepas pandangannya dari Jimin. Belum lagi, ketika jarak mereka terkikis, indera penciuman Hanna menangkap aroma menarik yang adiktif dari tubuh Park Jimin.

Ya, ampun. Pakai parfum apa, sih?

Hanna berani bersumpah, punya dua saudara laki-laki yang suka pakai parfum tapi mereka tidak pernah beraroma semaskulin ini.

Aromanya membuat jantung bertalu tak karuan pertama kali dihirup. Lalu secara magis membuat sensasi mendesir di dada yang mencampur kenyamanan, perasaan familiar. Aroma laki-laki yang membuat ingin tinggal lebih lama, ingin menjadi sedikit lebih dekat. Sedikit saja. Aroma memabukkan—bukan dalam konteks kasar, tentu saja—namun membuat sedikit rasa tak tenang karena jantung berdebar-debar, tersadar betapa menarik pemilik aroma tubuh ini.

Park Jimin beraroma seperti lemon segar, bergamot, dan orange blossom.

Oh, Tuhan. Beruntung sekali istrinya menikmati aroma ini setiap hari.

Hanna mengekori Jimin ke ruangannya. Belum sempat dia menata pikiran, Hanna sudah dibuat tercengang oleh hamparan langit dan pemandangan kota Seoul dari ketinggian. Ruangan ini berdinding kaca dan terang benderang, menciptakan rasa bebas dan gamang di saat bersamaan. Hanna tidak sadar dia sudah berjalan menyeberang ruangan menuju dinding kaca, hanyut dalam pikiran sendiri.

Bukankah luar biasa kalau aku bisa bekerja di sini dan melihat ini setiap hari?

“Asistenku yang sebelumnya takut ketinggian.” Jimin berkata, membuat Hanna langsung menoleh. “Jadi dia tidak terlalu suka berdiri di situ. Bagaimana denganmu?”

“Aku tidak masalah dengan tempat tinggi. Aku malah menyukainya karena membantu melihat lebih leluasa, lebih bebas. Seperti puncak gunung, dulu aku pernah lakukan sekali saat masih sekolah, atau sekadar duduk di beranda rumah, atau di atas pohon.”

Mata Jimin melebar takjub. “Kau bisa memanjat pohon?”

Hanna tertawa canggung. Ia kemudian tersadar bahwa baru saja berbicara pada calon atasannya terlalu santai seolah sedang berbincang dengan seorang teman.

Astaga, Hanna! Mati saja kau. Di mana sopan santunmu?

“Ah, aku malah jadi tidak fokus begini. Maaf. Habis pemandangannya bagus sekali.”

“Tidak masalah. Santai saja.” Jimin beranjak ke sofa di tengah ruangan. Ada meja kaca rendah di tengah-tengahnya. “Silakan duduk.”

Setelah duduk di depan Jimin, Hanna mengeluarkan berkasnya dan diletakkan di atas meja. “Kemarin aku sudah periksa website resmi perusahaan dan menyiapkan yang dibutuhkan.”

Lagi-lagi Hanna tersihir saat tawa rendah lolos begitu saja dari bibir Jimin. Dia mengambil berkas Hanna dan mengeluarkan isinya.

“Sebenarnya itu formalitas saja, sih. Aku lebih mengutamakan kenyamananku untuk bekerja dengan orang lain, tapi, yah, mau bagaimanapun aku butuh orang yang bisa membantu pekerjaanku.”

“Aku bisa mengerti. Memikul perusahaan sebesar ini, pasti banyak kesulitan.”

Jimin tersenyum lagi. “Begitulah. Oh, ya. Sebelumnya kau seorang sekretaris juga, bukan?” Jimin mengangkat pandangan dari kertas pada Hanna. “Jadi kuanggap kau sudah tidak asing, ya, dengan pekerjaanmu nanti. Kalau semua berjalan lancar.” Jimin menambahkan dengan cepat.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now