Delapan

3.4K 602 118
                                    

Mood Hanna sudah tidak terlalu bagus saat dia terbangun jam empat pagi hari itu. Sialnya, tidak bisa tidur lagi. Hanna mendapat mimpi aneh dan tidak masuk akal melibatkan Jimin dan Jiyeon, sepasang orang asing dalam kehidupan, menghancurkan tidurnya. Jadi selama dua jam sebelum waktu biasanya dia bangun, Hanna berguling ke kanan dan kiri, memainkan ponsel dan mengecek sosial media.

Meski Hanna memiliki akun, tapi dia tidak aktif memposting di sana. Kadang hanya menonton Youtube, mengecek postingan teman, melihat betapa menakjubkan hidup mereka; jalan ke sana-sini, gerombolan wanita muda, bersama pacar, liburan. Kebiasaan buruk, tentu saja, karena membuat Hanna merasa betapa menyedihkan kehidupan yang dia punya. Tidak punya pacar, tidak punya teman dekat, dan sekarang bunga tidurnya diisi oleh si atasan dan mantan istri.

Menyedihkan, pikirnya.

Antusiasme yang biasanya menggebu tiap kali dia memasuki kawasan D Apartemen Hannam kini terbang entah ke mana. Hanna bahkan hampir menggores mobil milik Jimin saat parkir tadi. Konsentrasinya buyar, pikiran berhamburan hingga nyaris menabrak pilar beton. Hanna kira kalau melihat senyum Abel dan mendengar suara melengkingnya berseru, "Tante Hanna!", suasana hatinya akan membaik sedikit, namun setelah dia membunyikan bel, justru mood Hanna terjun sedalam Palung Mariana. Jimin muncul dengan wajah super lelah dan kantung mata menghitam.

"Hai, Hanna. Selamat pagi," katanya tanpa energi sama sekali, seolah nyawanya melayang pergi saat dia membuka jendela di awal pagi. Jimin membiarkan pintu terbuka untuk Hanna dan berbalik masuk. "Sudah sarapan? Aku bingung mau masak apa. Abel, sudah siap belum?" Jimin meninggikan suara sedikit.

"Sudah, Papa!"

Menyusul suara itu, Abel berlari kecil dari kamarnya yang ditempeli stiker Hello Kitty di pintu. Mata dan senyumnya sinkron melebar ketika melihat Hanna. "Tante!" serunya sambil mengangkat kedua tangan, minta digendong.

"Halo, Cantik!" Hanna menyambut Abel ke dalam pelukan dan membiarkan tas di lantai. "Bagaimana tidurmu tadi malam?"

"Aku tidur di kamar Tante, tapi bangun di kamarku. Jam berapa Papa datang?"

"Agak larut. Abel terbangun sedikit waktu Tante angkat. Ingat tidak?"

Abel menggeleng. "Tidak, sih. Tapi Papa pasti sangat mengantuk, ya, sampai tertidur di kasur Abel."

Hanna menoleh pada Jimin yang tersenyum simpul dari balik konter dapur. Separuh atensinya ada pada buku menu di atas meja marmer itu. "Asik, dong bisa tidur sama Papa." Hanna berkata, dengan ketertarikan yang tinggal setengah.

"Abel, turun, Nak. Kasihan, Tante Hanna nanti capek."

Setelah Abel turun dan menempati kursinya di sisi lain meja marmer, Hanna menghampiri Jimin, ikut menunduk melihat buku menu. "Mau kubantu?" Tidak ada reaksi, Hanna yakin seratus persen kalau ada yang mengganggu pikiran Jimin. Meski sekilas tampak dia berfokus pada buku menu, tapi pandangannya mengawang. Tubuhnya ada, namun pikirannya tidak di situ. "Jim, kau baik?"

"Hem?" Jimin menoleh sekilas. "Ya, aku baik. Hanya sedang bingung. Abel mau sarapan apa?"

Diam-diam Hanna memindai Jimin dari ujung rambut hitamnya yang mencuat hingga ke mata kaki. Dia sama sekali belum berganti pakaian. Kemeja putihnya tampak lusuh karena dipakai tidur semalaman. Rambut hitam yang biasa tampak tertata rapi jatuh menutupi hampir seluruh kening. Ini benar-benar bukan seperti Jimin.

"Aku mau roti bakar dan telur goreng."

"Lagi?" Jimin mencubit pelan pipi putrinya setelah gadis cilik itu mengangguk, lalu berkata, "Baiklah."

"Biar aku yang kerjakan, Jim. Kau mandi saja." Hanna menyela.

"Seriusan?"

"Iya. Abel, kalau Tante yang masak tidak apa-apa, kan?" Tawaran Hanna mendapat anggukan semangat dari bocah itu.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now