Prolog

2.1K 280 60
                                    

"Angkasa kecelakaan."

Adhara hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara bergetar Yudha dari seberang telepon. Ia bahkan menahan napasnya ketika suara Yudha kembali muncul.

"Di sini, di rumah sakit Persada."

Gadis Kartika itu mematikan sambungan teleponnya sepihak. Ia tidak peduli kalimat yang sedang diucapkan Yudha selanjutnya terpotong.

Adhara menyambar jaketnya lalu memakainya asal. Ia mengantongi ponsel serta dompet lalu bergegas turun ke garasi. Pandangannya perlahan mengabur seiring dengan air mata yang memaksa menyeruak keluar.

"Angkasa pasti baik-baik aja," gumamnya pelan.

Garasi yang terletak di bagian samping rumah itu hanya berisi sebuah motor matic. Adhara meraba-raba dinding di dekatnya, mencari kunci motor yang biasanya digantungkan di sana. Setelah mendapat apa yang ia cari, Adhara bergegas melajukan motornya ke tempat yang disebutkan Yudha.

***

Dua pasang mata menyambut kedatangan Adhara di koridor rumah sakit. Gadis itu melemparkan pandangan ke dalam ruang rawat, menelisik melalui kaca yang tertutup tirai tipis demi melihat keberadaan suaminya.

Lutut Adhara melemas ketika melihat Angkasa terbaring di dalam sana dengan tubuh penuh luka. Matanya kian memanas ketika dokter mengeluarkan alat pompa detak jantung. Itu artinya, hidup Angkasa sudah tinggal menunggu takdir.

"Ra..."

Adhara menolehkan kepalanya. Ia menatap Senja yang mendekat ke arahnya kemudian merengkuh tubuh gadis itu. Gadis Kartika itu terisak pelan di pelukan Senja.

"Gue takut, Senja..."

Senja mengelus rambut Adhara pelan, berusaha menenangkan gadis di pelukannya yang tengah kalut. Ia tahu, Adhara pernah ditinggalkan. Karena itu, Adhara menjadi setakut ini sekarang.

Isakan Adhara mengeras. "Gue gak mau kehilangan dia," bisiknya parau.

Senja mengangguk pelan, membenarkan dalam hati. Ia juga tidak mau Angkasa pergi. Tapi, jika takdir sudah berbicara, ia bisa apa?

Sementara itu, Yudha terdiam di depan pintu ruangan. Ia memandang pintu putih itu dengan tatapan kosong. Seharusnya Yudha yang ada di dalam. Bukan Angkasa.

Pintu putih ruang rawat terbuka, menampilkan dokter muda yang baru saja melepas maskernya. Tangannya sibuk membuka sarung tangan lateks.

"Ada keluarganya?" tanya dokter itu, menatap Yudha, Senja, dan Adhara bergantian.

Adhara refleks berdiri. "Saya, dok," jawabnya dengan suara parau. Hidung Adhara bahkan memerah seperti habis terkena flu.

"Saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi maaf, pendarahan di kepala pasien terlalu parah sehingga sulit untuk diselamatkan," jelas dokter itu.

Mata Adhara melebar. Walau detik berikutnya, tubuh gadis itu terjatuh menimpa lantai diiringi dengan suara tangisan pilu yang memenuhi udara.

Ini tidak mungkin. Angkasa harusnya masih hidup. Angkasa harusnya ada di sini bersamanya.

Kenyataan itu terasa begitu menyakitkan bagi Adhara. Ini bahkan belum apa-apa. Mereka bahkan belum punya keturunan. Lalu Angkasa tiba-tiba pergi begitu saja?

[2] Semesta | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang