17. Lagi?

424 100 14
                                    

"Angkasa."

Jam masih menunjukkan pukul dua pagi ketika Adhara memanggil Angkasa dengan suara pelan. Udara semakin dingin di luar, membuat gadis itu merapatkan tubuhnya.

"Ka, bangun, dong." Jari-jemari Adhara memainkan rambut Angkasa yang masih tertidur lelap.

"Ka, bangun."

Setelah panggilan yang ketiga, barulah Angkasa membuka matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar lantas menatap Adhara yang memeluk pinggangnya dari dekat.

"Kenapa, hm?" tanyanya dengan suara sengau khas orang bangun tidur.

Jari telunjuk Adhara membentuk pola abstrak di dada bidang Angkasa. "Mau es krim. Beli yuk, Ka."

"Masih dini hari, by. Udaranya dingin nanti kamu sakit lagi," larang Angkasa.

Adhara memberengutkan wajahnya kesal. "Kok gitu, sih? Bukan aku yang mau, tapi anak kamu," katanya sembari menunjuk perutnya yang mulai muncul sedikit tonjolan.

Pagi hari tepat di usia kehamilan Adhara yang menginjak tiga bulan. Angkasa menghela napas pasrah, duduk bersandar pada kepala ranjang dengan mata masih mengantuk.

"Mau beli di mana jam segini?" tanyanya dengan mata terpejam.

Adhara ikut menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Tangan kecilnya berusaha melingkupi tangan Angkasa yang lebih besar. Sedangkan kepalanya ia taruh di atas pundak lelaki itu.

"Kan ada minimarket 24 jam. Belinya di sana, lah. Please, boleh ya, Ka?"

Deheman pelan keluar dari mulut Angkasa. Ia menjatuhkan kepalanya di atas kepala Adhara, sesekali menguap lebar. Merutuk dalam hati, kenapa istrinya itu harus ngidam jam dua pagi?

"Jangan tidur lagi, dong. Ayo, beli," rengek Adhara seperti anak kecil. Ia menarik-narik ujung baju Angkasa agar lelaki itu kembali terjaga.

"Iya, iya. Ini gak tidur, kok." Angkasa melebarkan mata dengan dua jarinya lantas pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Dengan harapan, ia tidak akan tidur sambil berjalan nanti.

Setelah membasuh wajah, Angkasa memakai jaket yang disediakan Adhara. Mereka keluar rumah, tak lupa mengunci pintu lantas menyusuri jalanan komplek menuju minimarket 24 jam di ujung jalan.

Seperti yang sudah terbayang sebelumnya, udara jam dua pagi terasa amat sangat dingin. Angkasa meraih bahu Adhara, merengkuhnya agar tidak merasa kedinginan.

"By, nanti aku jalan sama Angkala, ya. Mau nemenin dia beli sepatu. Boleh gak?" tanya Adhara tiba-tiba.

Angkasa menatap Adhara yang berada dalam rengkuhannya, mengangguk kecil. "Boleh. Asal jangan terlalu capek, ya. Terus jangan telat makan sama minum susu."

"Siap, kapten!" ujar Adhara semangat.

Plang minimarket sudah mulai terlihat. Angkasa mempercepat langkah, menarik Adhara yang terlihat antusias.

"Selamat datang di indom*ret."

Di depan pintu masuk, seorang karyawan menyambut mereka dengan ramah. Angkasa membungkukkan kepalanya sedikit sembari tersenyum tipis.

Adhara sudah berlari ke arah kotak berisi es krim, mengambil beberapa varian dengan rasa berbeda. Ia mengacungkan salah satunya kepada Angkasa. "Ka, mau gak?" tanyanya.

Kepala Angkasa tergeleng pelan. Ia memilih memisahkan diri dengan berjalan menuju lemari pendingin. Lelaki itu mengambil satu kaleng kopi lantas kembali menghampiri Adhara.

"Udah belum?" tanyanya pada Adhara.

Menunduk, Adhara mencari-cari es krim yang ia mau di bagian terbawah. Untunglah masih ada dua es krim yang tersisa. "Nah, udah." Es krim tersebut bergabung bersama tumpukan es krim lainnya.

"Ini kebanyakan by, ya Allah. Nanti kamu batuk. Kembaliin lagi. Ambil lima aja," suruh Angkasa.

Bagaimana tidak, Adhara mengambil setidaknya lima belas es krim dengan beragam rasa dan bentuk. Angkasa memang mengizinkan tapi tidak begitu juga.

"Kok lima, sih? Dikit banget," keluh Adhara.

"Pokoknya lima atau gak sama sekali."

Adhara menipiskan bibir, mulai mengeliminasi es krim-es krim dalam dekapannya. Dan terakhir, tersisalah lima es krim terpilih.

"Udah, 'kan? Ayo, bayar."

Tangan Angkasa menarik tangan Adhara untuk membayar belanjaannya. Setelah menerima kembalian, mereka keluar dari minimarket tersebut untuk pulang ke rumah.

"Angkasa?"

Baru saja Angkasa hendak membuka kaleng kopinya, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Senja. Iya, Senja si gadis berambut sebahu itu. Tapi tenang, Senja sudah tidak ada rasa pada Angkasa.

"Apa kabar lo?" tanya Senja ramah. Netranya bergulir, menatap Adhara yang sibuk membuka bungkus es krim. "Eh, ada Adhara juga."

Bola mata Adhara berputar malas. "Ya iyalah, lo kira gue tak kasat mata?"

Tapi tenang, kalimat di atas hanya terucap dalam hati.

"Baik gue. Lo apa kabar? Sekarang sama Aidan, ya?" jawab dan tanya Angkasa ramah.

Senja mengangguk, tersenyum lebar. "Iya, nih. Lo ngapain malem-malem ke minimarket?"

Kali ini, giliran Angkasa yang tersenyum. "Adhara ngidam pengen es krim," tunjuknya pada Adhara yang sedang mengunyah cone.

"Udah isi? Berapa bulan?" tanya Senja antusias.

Cengiran lebar mirip anak kecil tersungging di wajah Adhara. "Tiga, hehe."

"Selamat, ya. Eh, gue duluan ya, Ka, Ra. Udah ditungguin Aidan di mobil," pamitnya. "Sampai ketemu lagi."

Figur gadis berambut sebahu itu menghilang di balik tikungan jalan. Angkasa dan Adhara kembali menyusuri jalan yang masih remang-remang karena pencahayaan hanya bersumber dari lampu jalanan dengan pendar berwarna kekuningan.

"Eh, rambutnya kok, masih sebahu, ya?" tanya Adhara random.

Angkasa mengangkat bahu, acuh. "Dipotong terus kali. Biar konsisten. Jadi gampang dikenali," celetuknya asal.

"Aku jadi inget waktu kamu masih sama dia dulu. Apalagi waktu kamu ketauan ciuman sama aku. Muka kamu panik-panik lucu gitu."
Angkasa mengetuk dahi Adhara dengan jari telunjuknya. "Udah gak usah diinget-inget lagi."

Wajah Adhara tertekuk kesal. Ia membuka es krim selanjutnya lantas memakannya dengan brutal.

"Uhuk uhuk!"

Akibatnya, gadis Kartika itu tersedak es krimnya sendiri.

"Eh, makannya pelan-pelan, dong. Duh, jadi belepotan gini," tegur Angkasa sembari menyeka sudut bibir Adhara dengan ibu jarinya.

Stik es krim Adhara lemparkan sembarangan. Ia merapatkan tubuh pada Angkasa, mencari kehangatan karena udara semakin menusuk kulit.

"By, jalan-jalan, yuk?" ajak Adhara tiba-tiba.

Kening Angkasa mengerut samar. "Hah? Ke mana?" Pasalnya, ini baru jam tiga pagi kurang sepuluh menit.

"Jalan-jalan aja, keliling. Nanti sarapannya di bubur Mang Didi. Yuk?"

"Enggak, ah," tolak Angkasa. "Udaranya dingin, terus kamu 'kan, gak boleh kecapekan."

Mata Adhara berbinar penuh harap. "Sekali iniii, aja. Please?"

Angkasa menghela napas kasar, menggamit lengan Adhara. "Yaudah, ayo. Janji cuma kali ini aja?" sahutnya sembari mengacungkan jari kelingking.

"Janji." Adhara menautkan jari kelingkingnya sembari tersenyum lebar.

Pagi itu diakhiri dengan Angkasa dan Adhara yang berjalan-jalan sambil bercerita banyak hal. Lalu setelahnya, mereka duduk berdua di warung bubur Mang Didi bahkan ketika Mang Didi baru saja selesai menata kursi dan meja.








_____
A/N:

Full diisi oleh Adhara dan Angkasa. Aku ngerasa makin ke sini makin membosankan, maaf ya.

[2] Semesta | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang