19. Retak

463 102 9
                                    

Ibarat cermin, hubungan Angkasa dan Adhara sudah retak. Adhara menolak untuk berbicara dengan Angkasa bahkan ketika mereka berada dalam satu kamar sekalipun.

Adhara seolah menulikan telinga dari semua penjelasan Angkasa. Ia terlalu sulit untuk percaya pada lelaki itu setelah apa yang ia lihat di rumah sakit.

Adhara tahu, Ghaitsa memiliki obsesi yang berlebihan pada Angkasa. Ia tahu itu. Tapi jika Angkasa tetap meladeni gadis Zahira itu, sama saja dengan menerima.

Pagi ini, setelah Angkasa berangkat ke kantor, Adhara memutuskan untuk berdiam diri di rumah sembari menonton film. Sangat sulit baginya untuk bergerak secara leluasa. Terlebih lagi, ada dua janin di dalam sana.

Ketika sedang menyiapkan segelas susu seperti biasanya, ponsel Adhara berdering nyaring. Ia meninggalkan susunya yang belum teraduk sempurna.

Mama Kemala is calling you...

Tanpa ragu, Adhara segera menggeser tombol hijau pada layar ponselnya. Ia menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan lantas berbalik kembali ke dapur untuk mengambil susu.

"Halo, Ra?"

"Halo, Ma. Ada apa nelepon pagi-pagi?" tanya Adhara heran.

Terdengar suara klakson mobil di seberang sana. Sepertinya Kemala sedang dalam perjalanan.

"Kamu lupa, ya? Bukannya kamu bilang mau bikin syukuran tujuh bulanan, ya?"

Adhara yang sedang menyesap susunya sontak tersedak. Ia terbatuk kecil beberapa saat hingga tersadar sesuatu. Kapan ya, ia bilang seperti itu pada mamanya?

Bola mata membalak, Adhara membalas, "Kapan aku bilang gitu, Ma? Aku lupa."

"Waktu bulan lalu kamu bilang gitu, kok. Ini Mama sama Kejora lagi di jalan mau ke rumah kamu. Sama Papa dan Anggara juga. Kamu gak lagi di luar 'kan, Nak?"

"Iya, Ma. Aku di rumah, kok. Tapi Angkasa udah berangkat ke kantor. Aku juga belum ada persiapan apa-apa," ujarnya bingung sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal.

Ada suara lain di seberang sana. Terdengar seperti suara Anggara. "Biar Mama sama Kejora yang urus. Kamu istirahat aja. Nanti kita ke sana kalau udah beli barang-barang yang dibutuhin."

"Yaudah. Hati-hati ya, Ma."

Baru saja Adhara hendak memutus sambungan telepon, Kemala buru-buru menambahkan, "Sekalian kamu telepon Angkasa, ya. Suruh pulang aja biar bisa bantuin kamu beres-beres."

Tangan Adhara yang memegang gelas susu kosong menggantung di udara. Ia harus bilang apa soal masalahnya dengan Angkasa? Apa ia harus jujur saja?

"Adhara?"

Adhara tersadar dari lamunannya. "Iya, Ma. Nanti Ara telepon Angkasa. Udah ya, Ma. Ara mau beresin ruang tengah sama ruang tamu dulu."

"Jangan sampe kecapekan ya, Nak."

Gumaman tak jelas menjadi penutup telepon. Adhara menghela napas pelan, menyimpan ponselnya di atas meja makan lantas beranjak untuk mencuci gelas. Ia menggelung rambut panjangnya agar tak menghalangi pandangan.

Setelah selesai, Adhara mengambil ponselnya lalu menimang-nimang benda pipih itu di tangannya. Ia ragu. Apakah ia kirim pesan saja? Atau menelepon seperti yang diperintahkan mamanya?

Sedikit ragu, Adhara mencari kontak dengan nama Angkasa. Ia menggigit bibir bawahnya gugup lantas menekan tombol dial.

Perlu beberapa kali nada sambung hingga terdengar suara dari seberang sana.

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now