4. Sakit

945 186 52
                                    

"By, dengerin aku dulu."

"Kamu salah paham."

"Aku gak tau kenapa Ghaitsa tiba-tiba kayak gitu."

Adhara mempercepat langkahnya. Ia mengusap pipinya dengan punggung tangan. Meskipun di belakangnya Angkasa masih mencoba menjelaskan apa yang baru saja ia lihat tadi, gadis itu memilih tutup telinga.

Tangan Angkasa terulur mencekal pergelangan tangan Adhara. Ia membalikkan tubuh gadis itu agar dapat melihat wajahnya dengan jelas. Setidaknya istrinya itu mendengarkan meskipun hanya satu kalimat klarifikasi saja.

"Apa?" ketus Adhara. Suaranya terdengar parau. Wajahnya sudah tak karuan karena air mata yang terus berjatuhan.

Lelaki Athara itu menangkup kedua pipi Adhara, menggerakan ibu jarinya untuk menghapus jejak air mata yang mengulir. Hatinya ikut sakit melihat Adhara sekacau ini karenanya.

"Please, dengerin aku dulu," pinta Angkasa. Ia tidak peduli banyak pasang mata yang melihat apa yang dilakukannya di tengah-tengah lobi kantor. Konsentrasi staff kantornya teralihkan karena keberadaan CEO muda dan istrinya itu.

Adhara menggeleng pelan. Ia tidak mau mendengar penjelasan apapun dari Angkasa. Ia hanya ingin pulang. Kakinya sakit sekali ketika dipakai berjalan. Apalagi tadi ia berlari dari ruangan Angkasa. Rasa sakitnya bertambah ketika melihat lelaki itu dikecup dan dipeluk oleh gadis lain tepat di depan matanya.

"Aku mau pulang," sahut Adhara pelan. Ia melepaskan tangan Angkasa paksa dari wajahnya lantas mulai berjalan kembali.

Angkasa menyela, "Tapi kamu belum makan si-"

"Aku mau pulang," kukuh Adhara. Ia benar-benar ingin pergi dari tempat ini secepatnya.

Helaan napas samar terdengar dari mulut Angkasa. "Kalo gitu biar aku yang anter."

"Aku bisa sendiri."

Tangan Angkasa terangkat mengacak rambutnya kasar. Ia membiarkan Adhara pergi dari hadapannya. Netra hitam legamnya mengamati langkah Adhara yang terlihat lambat.

Hingga akhirnya Adhara terjatuh beberapa meter setelah berjalan. Gadis itu meringis kecil, menundukkan kepalanya dengan bibir digigit kuat. Ia ingin menangis saat ini juga tapi ia tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi.

"Adhara!" seru Angkasa panik. Lelaki Athara itu berlari ke arah Adhara lantas menjongkokkan dirinya di depan gadis itu. Tangannya sibuk meraba-raba tubuh Adhara, memastikan tidak ada yang luka.

Air mata Adhara jatuh. Ia melepas gigitan pada bibirnya, membiarkan isakannya terdengar oleh telinga Angkasa.

"Kamu gapapa 'kan?" tanya Angkasa khawatir.

Tangis Adhara semakin keras. "Sakit, Ka..." lirihnya.

Sungguh, Adhara tidak kuat untuk berdiri lagi. Ia bahkan hanya bisa terduduk di lantai dengan posisi kaki tertekuk. Tadinya ia berniat pulang menggunakan taksi atau angkutan umum lainnya. Namun, niatnya harus lenyap karena rasa sakit mengalahkan rasa kecewanya pada Angkasa.

Tanpa banyak bicara, Angkasa menggendong tubuh Adhara di depan tubuhnya. Ia membenarkan posisi tangannya agar gadis itu merasa nyaman.

"Ka, sakit..." lirih Adhara lagi.

Tangan Adhara terkalung di leher Angkasa sementara wajahnya ia sembunyikan di dada bidang lelaki itu. Angkasa tidak peduli kemejanya basah oleh air mata Adhara. Yang terpenting, gadis itu tidak merasakan sakit lagi.

Dengan susah payah, Angkasa membuka pintu mobilnya lantas mendudukkan Adhara di kursi samping pengemudi. Ia berlari kecil memutari mobil lantas duduk di kursi pengemudi.

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now