20. Ghaitsa?

405 80 4
                                    

(alur dipercepat)

"Aku berangkat dulu, ya? Jangan ke mana-mana kalau gak ada yang nganterin."

Di depan pagar rumahnya, Adhara menerima usakan lembut dari Angkasa. Lelaki itu menyunggingkan senyum seraya menutup kaca mobilnya.

Mobil hitam milik Angkasa melaju membelah jalanan yang masih lengang. Adhara menggeser pagar hingga tertutup sempurna. Ia berbalik masuk ke dalam rumah lantas beres-beres seperti biasanya.

Adhara melirik meja makan. Ia meninggalkan ponselnya di sana dan kini benda pipih itu berkedip-kedip tanda ada pesan masuk. Dengan segera, ia mengambil ponselnya lantas membaca nama kontak yang tertera beserta isi pesannya.

Angkala. H: Gue mau ke rumah lo, ya?

Jari-jemari Adhara menari di atas layar ponselnya, mengetikkan balasan pada Angkala.

Adhara. H: Iya, boleh. Ke sini aja, Ka.

Tidak berselang lama, ada balasan pesan dari Angkala. Isinya singkat, hanya sebatas kata 'iya' ditambah emoticon senyum.

Adhara menyimpan ponselnya kembali, mengambil beberapa piring berisi makanan ke dalam lemari dapur. Disusul dengan semangkuk nasi goreng yang masih tersisa banyak.

Setelah selesai menyapu dan mengepel lantai bawah, Adhara beranjak ke lantai atas. Sesekali ia memeriksa jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul 08.43. Tapi Angkala belum juga muncul.

Eh, kenapa Adhara jadi mengharapkan Angkala seperti ini?

Tepat setelah semua pekerjaan rumah selesai dan Adhara sudah duduk di ruang tengah sembari menonton kartun yang ditayangkan di salah satu channel televisi swasta, terdengar bel dari pintu depan.

Adhara mematikan televisinya lantas beranjak untuk membuka pintu. Terasa seperti deja vu.

Angkala berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja biru langit dan tangan yang menenteng paper bag sama seperti ketika lelaki itu mengantarnya ke rumah sakit.

"Hai, Ra. Sorry ya, gue gak dateng ke acara syukuran kemaren. Soalnya gue lagi di Bandung waktu itu. Lagian, mendadak banget," cerocos Angkala bahkan sebelum Adhara sempat menjawab sapaannya.

Senyum Adhara tersungging, terlihat teduh dan ramah di saat bersamaan. "Gapapa, kok. Emang dadakan sebenernya. Yang nyiapinnya juga Mama, Papa, sama keluarga yang lain."

Pintu rumah Adhara dibuka lebar agar Angkala bisa masuk. Adhara membawa Angkala ke ruang tengah lalu beranjak pamit untuk membuatkan teh.

"Ada apa ke sini?" tanya Adhara sembari menyimpan dua cangkir di atas meja. Ia mengambil posisi di sofa single di seberang Angkala.

Sedikit salah tingkah karena kontak mata langsung dengan Adhara, Angkala membalas, "Gapapa. Gue cuma pengen main ke sini. Gak boleh, ya?"

"Eh, enggak, kok!" Tangan Adhara bergerak ribut di udara, memberikan gestur 'tidak'. "Gue juga lagi santai-santai."

Angkala tersenyum melihat tingkah lucu Adhara. Ia meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas meja. "Sampai lupa kalau gue bawa ini," sahutnya diakhiri kekehan kecil.

"Ini apaan?" tanya Adhara bingung. Walau tak pelak tangan gadis itu bergerak membuka paper bag berwarna merah marun tersebut.

Di dalam paper bag berukuran cukup besar itu terdapat beberapa pasang baju bayi untuk laki-laki dan perempuan. Disertai dengan sepatu-sepatu mini yang terlihat lucu di mata Adhara.

[2] Semesta | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang