25. Berpisah

669 104 49
                                    

"Memangnya sudah tidak ada lagi yang bisa kalian selamatkan?"

Adhara menggeleng pelan. Ia menatap cangkir teh dalam genggamannya yang tersisa sedikit. Rasa hangat menjalar di telapak tangannya, melawan udara dingin yang berusaha merangsek masuk menembus kulitnya.

Tepat di sampingnya, Kemala duduk sembari menatap kolam ikan yang terdengar tenang. Maklum saja karena ikan yang tersisa tinggal beberapa ekor lagi. Ikan lainnya mati karena jarang diurus olehnya ataupun Bima.

"Mama hargain keputusan kalian. Mungkin kalian bukan jodoh? Atau mungkin, Tuhan punya rencana lain yang lebih baik bagi kalian," lanjut Kemala.

Udara dingin malam itu sama sekali tak mengusik mereka. Adhara mengeratkan jaket yang dipakainya lantas mulai menyesap tehnya sedikit demi sedikit.

"Terkadang kita harus melepas sesuatu untuk mendapat sesuatu yang lebih baik. Benar begitu, 'kan?"

Ucapan Kemala membuat Adhara refleks menghentikan kegiatan minumnya. Melepaskan, ya? Rasanya hal itu sulit dilakukan. Tapi apalah daya, ia juga ikut andil dalam membuat keputusan.

Mengganti topik, Kemala menolehkan kepala. "Bumi dan Bulan udah tidur, Ra?"

"Udah, Ma. Abis Isya tadi langsung pada ngantuk jadi aku tidurin mereka," balas Adhara.

Kejora mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih detail mengenai masalah yang menimpa anak perempuannya. Namun sepertinya, Adhara sedang enggan membahas hal itu. Terlebih, Adhara bilang mereka memutuskan untuk berpisah setelah melewati pertengkaran yang cukup hebat. Mereka sama-sama tarik urat, keras kepala, dan tidak mau mencoba saling mengerti.

"Kejora sudah tau, Ra? Atau Anggara?" tanya Kemala lagi.

Adhara menggeleng pelan. "Kayaknya belum, Ma. Tapi gak tau juga, sih. Mungkin aja Angkasa yang ngasih tau," balasnya.

"Pasti dia shock dengernya. Kejora 'kan, yang paling mendukung hubungan kamu dan Angkasa," gumam Kemala pelan. Wanita paruh baya itu mendongak menatap langit malam.

Kepala Adhara ikut terangkat. Malam ini terlihat indah. Gugusan bintang bertaburan dengan latar biru gelap yang luas seakan tanpa ujung. Tidak biasanya langit seperti ini. Biasanya hanya ada beberapa bintang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Ada yang mengganjal dalam hati Adhara. Mendengar kalimat yang dilontarkan Kemala barusan dengan nada berharap membuatnya kembali menundukkan kepala.

"Ma," panggil Adhara pelan. Ia berganti menatap rumput di bawah kakinya yang sedikit basah karena hujan mengguyur ibukota sore tadi.

Kemala berdehem pelan tanpa mengalihkan pandangan. "Hm?"

"Mama kecewa sama aku, ya? Karena aku gegabah ngambil keputusan. Aku masih bisa balik lagi sama Angkasa, kok," ucap Adhara merasa bersalah. Lalu ia melanjutkan, dengan suara yang mengecil. "Kalau Mama mau."

Wajah terkejut Kemala menjadi pemandangan yang ia lihat selanjutnya. Walaupun tidak terlalu jelas karena lampu taman yang memancarkan cahaya warm white itu mulai meredup tanda harus segera diganti. Suasana remang melingkupi keduanya.

"Kamu ngomong apa? Mama gapapa, kok. Semua keputusan ada di tangan kamu dan Angkasa. Toh, kalau Mama memaksa kalian, apa hubungan kalian bakal membaik di masa depan? Belum tentu. Bisa aja jadi lebih buruk dari sekarang. Jadi, jangan ngomong gitu," nasihat Kemala panjang lebar.

Tangan wanita paruh baya itu beralih mengusap bahu Adhara lembut, berusaha menyalurkan ketenangan dan kenyamanan.

"Ada kalanya orang-orang akan ditimpa masalah. Karena sejatinya, hidup itu adalah ujian. Setiap sendi kehidupan adalah ujian yang harus dilewati. Ada yang memilih tetap bertahan dan ada yang memilih menyerah. Semua itu tergantung pada dirinya masing-masing."

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now