Epilog

715 104 38
                                    

"Bulan gak mau Om Angkala jadi Papa Bulan."

Seisi meja makan hening seketika. Ucapan gadis berusia enam belas tahun itu mampu membungkam Adhara dan Angkala hingga suara dentingan sendok dan garpu tak lagi terdengar.

Sedangkan di sebelah Bulan, Bumi yang memang sedang menginap di rumah Adhara hanya melirik kembarannya dengan tatapan tak terbaca. Entahlah apa yang ada di pikiran pemuda itu.

"Tapi kamu belum denger alesan Om Angkala, nak," sanggah Adhara. Ia menyimpan sendok dan garpunya di atas piring lalu menatap Bulan lekat-lekat.

Bulan menggeleng. "Pokoknya Bulan gak mau," tukasnya kesal.

Derit kursi yang didorong paksa membuat Bumi yang semula kembali mengunyah makanannya otomatis menoleh. Dipandangnya kepergian Bulan dengan disertai helaan napas kasar dari mulutnya. Bulan itu memang sedikit keras kepala.

Anak laki-laki dengan nama belakang Athara itu berdehem pelan. "Mama gak bisa paksa Bulan kayak gitu," ujarnya.

"Tapi Bulan belum denger alas-"

"Bumi izin ke kamar ya, Ma. Misi, Om," potong Bumi cepat. Ia menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat lantas menyusul kepergian adiknya ke lantai atas.

Kaki panjang Bumi menapaki tangga satu persatu hingga langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar berwarna pastel. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, ia membuka pintu tersebut.

Di atas ranjang dengan seprai bermotif floral, Bulan sedang menenggelamkan wajahnya pada salah satu boneka beruang pemberian Angkasa. Tidak terlalu jelas apakah gadis itu menangis atau tidak karena tak ada isak sama sekali.

"Bulan," panggil Bumi pelan.

Gadis Athara itu mengangkat wajahnya. Ada beberapa bulir air mata menghiasi kedua pipinya. Walau akhirnya, Bulan menepisnya dengan punggung tangan.

"Iya..."

"Jangan nangis, dong." Bumi mendekat lantas mendudukkan diri di tepi ranjang. Ia menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang, mengamati gadis bersurai panjang berwarna hitam itu yang hari ini dicepol rapi dari dekat.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Bulan. "Gue gak nangis, Bumi," kilahnya dengan suara serak.

"Itu ada air matanya," tunjuk Bumi pada pipi Bulan diakhiri dengan kekehan kecil. Ia mengusap lembut jejak air mata tersebut dengan ibu jarinya.

"Ish, tangan lo bisa diem gak, sih?"

"Lo makin jelek tau kalo nangis. Udah jelek makin jelek, deh," kelakarnya.

"Berarti lo juga jelek dong, Mi. Kan kita kembar."

"Hehe, sialan."

Bulan tertawa kecil. Ia menyingkirkan boneka beruang cokelat dari pelukannya. Gadis itu ikut menyandarkan tubuh pada headboard ranjang. Sudah beberapa kali hal seperti ini terjadi. Tapi baru kali ini, Bumi ada di sisinya saat ia merasa kacau.

"Gue tau kok, itu semua pasti berat buat lo." Bumi angkat suara. "Lo pernah bilang hal ini terjadi gak cuma satu kali. Dan lo selalu ngambek sampai ujung-ujungnya ngunci diri di kamar."

Diam-diam, Bulan membenarkan dalam hati. Ia masih diam, tak ingin memberi respons apapun karena ia tahu Bumi masih ingin melanjutkan kalimatnya.

Pandangan Bumi jatuh pada sepasang manik hitam legam milik Bulan. "Tapi lo gak bisa selamanya kayak gini. Mama udah ngambil keputusan dan gue yakin Mama gak gegabah. Sekali-kali lo harus ngilangin ego lo demi kebahagiaan Mama."

"Gue maunya Papa," tukas Bulan lirih. "Gue akuin Om Angkala emang baik tapi gue ngerasa kalo Om Angkala pura-pura. Gue cuma mau Papa, Bumi."

Pada akhirnya Bumi hanya bisa bungkam. Mendengar nada Bulan yang kentara desperate membuatnya memutuskan untuk tutup mulut.

[2] Semesta | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang