15. Bad News

410 100 19
                                    

Ting!

Ponsel Adhara berdenting pelan, tanda ada pesan masuk. Ia yang baru saja selesai membereskan kamar segera meraih ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Keningnya mengerut ketika melihat deretan angka yang membentuk sebuah nomor tak dikenal.

082154xxxxxx: Adhara?

081254xxxxxx: I'm sorry tapi gue harus ngasih tau ini

081254xxxxxx sent a picture

Ponsel dalam genggaman Adhara hampir saja jatuh menyentuh lantai. Tangannya bergetar hebat ketika netranya menangkap sosok Angkasa sedang berciuman dengan Ghaitsa dalam foto yang dikirimkan nomor tak dikenal tersebut.

"Pokoknya kangen."

"I love you, by."

"Kalo ada apa-apa, telepon aku aja, ya?"

Haha, bullshit.

Tanpa sadar mata Adhara memanas. Ia menyimpan ponselnya lantas membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Ini kedua kalinya Adhara melihat hal itu.

Isak tangis Adhara semakin menjadi. Ia benci mengatakan ia sakit hati. Tapi dadanya yang sesak dan air mata yang mengalir terus-menerus bak air bah sudah mewakili perasaannya saat ini.

Kenapa Angkasa selalu merusak kepercayaan yang ia bangun dengan susah payah? Kenapa ia mengingkari komitmennya sendiri? Kenapa?

Di saat-saat seperti ini, Adhara selalu teringat Cakra, Cakrawalanya. Lelaki itu entah ada di mana sekarang. Mungkin sudah bahagia bersama orang baru.

Cakra tidak pernah membuatnya menangis seperti ini. Cakra selalu melindunginya. Cakra yang selalu mencurahkan kasih sayang padanya.

Bagaimana pun, Cakra ada ketika Adhara patah. Dan karena sugesti atau entah apa, gadis itu bergumam pelan menyebut namanya.

Seandainya ia memilih Cakra.

Adhara benci kata itu. Karena seandainya tidak pernah bisa terwujud. Kata seandainya hanya membuat gadis itu berharap pada hal semu.

Tubuh Adhara semakin merosot jatuh. Ia menekuk lututnya lantas membenamkan wajahnya di antara lipatan tangan. Menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala yang ia rasakan dalam bentuk tangisan.

Ponsel Adhara berdering pelan. Tanpa minat, ia meraba-raba nakasnya, mencari keberadaan benda pipih itu. Air matanya ia hapus dengan punggung tangan.

Angkala is calling you...

Jari Adhara menggeser tanda hijau lantas menempelkan ponselnya di telinga kanan. Sesekali ia menyeka air matanya yang turun perlahan.

"Halo?" sapa Adhara dengan suara parau.

"Halo. Eh, suara lo kenapa parau? Lo lagi nangis?"

Adhara menggeleng walau ia tahu Angkala di seberang sana tidak dapat melihatnya. "Enggak, kok. Gue gapapa."

"Gue ke sana, ya? Lo boleh ceritain masalah lo sama gue, kalo lo mau."

"Gak usah, Ka. Gue lagi pilek makanya suara gue gini," sergah Adhara.

Terdengar suara mesin mobil dinyalakan. "Tunggu sebentar, ya. Lima belas menit gue nyampe."

Pip!

Sambungan diputuskan sepihak. Adhara menyimpan ponselnya kembali lantas bersandar lemah pada ranjang. Ingin menolak pun tak bisa karena Angkala mungkin sudah di perjalanan.

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now