9. Terima Kasih

735 139 23
                                    

"Makan dulu, ya."

Adhara menggeleng, mendorong mangkuk berisi bubur putih khas rumah sakit di depannya. Ia tidak berselera menyentuh makanan saat ini.

"Tapi kamu belum makan dari pagi. Makan, ya? Sedikit aja."

Lagi-lagi Adhara menggeleng. Ia membenamkan wajahnya di antara kedua lutut, mulai terisak pelan. Hari ini sudah terhitung lima hari sejak kecelakaan yang merenggut nyawa bayinya. Adhara masih sedih, tentu saja. Bahkan, gadis itu tidak henti-hentinya menangis.

Angkasa menurunkan sendok yang dipegangnya. Ia meletakkan mangkuk bubur tersebut di atas nakas, beralih duduk di samping Adhara. Ia tahu di saat-saat seperti ini yang Adhara butuhkan adalah dukungan.

Tangan Angkasa bergerak merengkuh tubuh Adhara. Ia menyimpan kepala istrinya agar bersandar pada bahunya. Sementara jari-jemarinya menyisir rambut Adhara yang terlihat berantakan.

"Jangan nangis terus. Nanti kamu capek," nasihat Angkasa. Ia tidak peduli kemejanya basah oleh air mata Adhara. Yang ia inginkan hanyalah senyum hangat di wajah gadisnya. Ia tidak masalah soal anak. Toh, semuanya sudah diatur.

Adhara masih terisak, lebih keras. Sesekali ia meremas kemeja bagian depan Angkasa, mengatakan dengan gestur tubuh betapa sakitnya ia sekarang.

"Udahan dong, nanti kamu jadi jelek. Terus aku gak sayang kamu lagi."

Tanpa kata, Adhara perlahan-lahan terdiam. Walau suara sesenggukkan masih terdengar, setidaknya tangis gadis itu mereda. Ia menggigit bibir kuat-kuat, menahan isaknya agar tak meluncur keluar.

Senyum tipis Angkasa mengembang. Ia mengangkat kepala Adhara hingga pandangan keduanya bertemu. Lelaki itu hampir saja menyemburkan tawa ketika melihat wajah berantakan Adhara; matanya sembab, hidungnya memerah, dan sisa-sisa air mata mengulir di pipinya.

"Kenapa? Mau ketawa? Aku jelek, ya?" tanya Adhara tak suka dengan suara parau efek menangis tadi.

Angkasa menggigit bibirnya, menggeleng pelan. "Enggak-enggak. Kamu masih cantik, kok. Kalo jelek gak mungkin jadi istri aku," balasnya. "Tapi kamu emang lagi jelek sekarang, by," lanjutnya tanpa dosa.

Sebuah pukulan mendarat di bahu Angkasa. "Lepasin tangan kamu. Gak usah pegang-pegang."

Tangan Adhara berusaha melepas tangan Angkasa yang melingkar di pinggangnya. Namun sia-sia saja, tenaga lelaki itu lebih kuat dari yang ia kira.

"Dih, ngambek," goda Angkasa sembari mencubit pipi Adhara. Ia mengernyit samar ketika menyadari pipi gadisnya tidak se-chubby dulu.

"Tuh, 'kan. Pipi kamu gak ada isinya. Makanya makan, ya. Gak enak nguyel-nguyelnya."

Adhara mendengus pelan, memilih menyandarkan kepalanya lagi. Ia menggeleng, membuat rambutnya beradu dengan kemeja Angkasa hingga menimbulkan suara gemerisik.

"Gak mau, gak nafsu. Lagian bubur rumah sakit tuh, gak enak."

"Kalo lagi sakit mana ada yang enak, sih. Ayo, makan," bujuk Angkasa lagi.

"Gak mau, Angkasa."

Angkasa tersenyum misterius. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Adhara, berbisik dengan suara sengaja direndah-rendahkan.

"Makan atau aku cium?"

Pupil mata Adhara melebar. Ia melepaskan tangan Angkasa paksa lantas bergerak menjauh.

"Jangan deket-deket!" ancamnya sembari menunjuk Angkasa dengan jari.

Tawa kecil Angkasa menguar. Ia mengambil mangkuk bubur kembali, menyendoknya hingga terlihat penuh.

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now