13. Book Event

474 105 14
                                    

Rasanya asing. Ada sekelebat bayangan masa lalu ketika kakinya berpijak di salah satu pualam kecokelatan di café ini. Tanpa diperintah, netranya terpaku pada satu meja di dekat jendela. Meja bernomor lima belas dengan dua kursi putih dan satu meja persegi.

Dan sekali lagi, laki-laki itu duduk di sana.

Ghaitsa melirik jam tangannya. Ada sekitar setengah jam lagi sebelum ia kembali ke kantor. Ia mempercepat langkahnya ke arah lelaki yang tengah menyesap Americano-nya santai.

Senyum Ghaitsa mengembang. Jemari lentiknya menarik kursi tepat di hadapan lawan bicara. "Sorry, Ka. Gue harus ngurus kerjaan gue dulu."

Lelaki itu, Angkasa, menganggukkan kepalanya. "Gapapa. Duduk, Tsa," ujarnya sembari menunjuk dengan dagu.

Terakhir kali Ghaitsa mengunjungi café ini adalah ketika ia dan Angkasa duduk di bangku kuliah. Jujur saja, ia rindu masa-masa itu. Masa di mana Angkasa merupakan satu-satunya orang yang peduli padanya.

"Lo gak pesen?" tanya Angkasa sembari memain-mainkan gelas kertas di tangannya.

"Oh iya, bentar." Ghaitsa meletakkan tasnya di atas meja lantas beranjak untuk memesan kopi dan kue-kue kecil kesukaannya.

Counter café tidak terlalu ramai. Beberapa kue dipajang di etalase kaca, tampak menarik di mata Ghaitsa.

"Pesan apa, Mbak?" tanya karyawan café dengan ramah.

"Capuccino satu sama cinnamon roll dua."

"Ada tambahan lain?" Karyawan café tersebut mencatat di buku pesanan.

Netra Ghaitsa yang semula terfokus pada jajaran menu baru café sontak beralih. "Nggak ada," balasnya sembari tersenyum.

"Totalnya 97.000. Ditunggu sebentar, ya."

Setelah memberikan selembar uang pecahan seratus ribu rupiah, Ghaitsa iseng membuka ponselnya. Ia menggulir layar hingga menemukan notifikasi pesan dari Angkala.

Angkala. H: Gue mau ke book event sama Adhara. Gue pastiin dia bakal sering-sering jalan sama gue biar lo bisa sama Angkasa

Senyum tipis Ghaitsa terulas. Ia memasukkan ponselnya tanpa berniat membalas pesan Angkala. Sebuah kemajuan baik baginya. Dan Angkala tentu saja.

Seperti kata Axel, Ghaitsa terobsesi oleh Angkasa, entah bagaimana awalnya.

"Ini pesanannya."

Ghaitsa menerima nampan berisi secangkir capuccino dan dua piring kecil cinnamon roll dari karyawan café. Ia berbalik hendak kembali ke meja yang ditempati Angkasa hingga tabrakan kecil membuat keseimbangannya hilang begitu saja.

Brak!

Nampan yang dibawa Ghaitsa meluncur jatuh ke lantai. Isinya berserakan, terutama gelas dan piring yang pecah menjadi serpihan kecil. Bahkan, kopi panas miliknya sempat tumpah mengenai celana yang dikenakan.

"Kalo jalan liat-liat, dong!" bentaknya pada si penabrak. "Celana gue ko-"

Ucapan Ghaitsa menggantung di udara. Pupil matanya melebar bersamaan dengan napasnya yang tercekat.

Seorang laki-laki dengan leather jacket hitam tertawa kecil. "Eh, nabrak mantan. Sorry, ya. Gak sengaja," ucapnya tanpa dosa.

"Ish, kenapa sih, kalo ketemu lo bawaannya sial mulu?!" Ghaitsa sedikit meninggikan suaranya.

Ardian Jeno, lelaki yang notabenenya mantan Ghaitsa, mengangkat kedua bahu acuh. "Jodoh kali," celetuknya asal.

"Jodoh palalo! Liat nih, makanan gue jatoh semua gara-gara lo!"

[2] Semesta | 2HyunjinWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu