24. Finally, We Fight Each Other

471 98 18
                                    

Adhara mematung.

Tepat setelah ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Ghaitsa ke ponsel Angkasa, gadis itu hanya termenung di meja makan dengan tatapan kosong. Angkasa bilang ia akan meluruskan semuanya. Tapi ia tidak yakin masalah ini akan selesai dengan sebegitu mudahnya. Yang ada, semuanya semakin rumit ketika ada pesan masuk ke ponselnya.

Tangan kanan Adhara yang masih memegang ponsel tergantung begitu saja di udara. Ada beberapa foto yang dikirimkan oleh nomor yang sama yang juga mengirimnya foto beberapa waktu yang lalu. Isinya masih sama. Angkasa dan Ghaitsa.

Sejujurnya Adhara sudah lelah. Rasanya ia ingin menyerah saja pada keadaan. Namun mengingat Bumi dan Bulan masih sangat kecil, gadis itu memilih bertahan.

Adhara tidak ingin kehilangan Angkasa, itu sudah jelas. Untuk apa ia melepas Cakra yang benar-benar sayang padanya demi Angkasa kalau bukan atas nama cinta? Mau berapa kali pun Angkasa menyakitinya di masa lalu, ia akan selalu kembali pada lelaki itu.

Haha, Adhara bodoh.

Lalu, jika sudah seperti ini, apakah Adhara harus tetap menerima? Tersenyum seolah tidak ada apa-apa? Atau bahkan pura-pura lupa pada semua rentetan kejadian beberapa waktu lalu?

Nyatanya, sesulit itu untuk bisa percaya. Ibarat batu karang yang selalu dihantam ombak lalu perlahan-lahan terkikis dan hancur, kepercayaan Adhara pun seperti itu. Ada kalanya akan habis, melebur bersama perasaan kecewa.

Adhara menghela napas panjang, mengunci layar ponselnya lantas menyimpan benda pipih tersebut di dalam kantung baju.

Baru saja gadis itu hendak bangkit dari duduknya, suara mobil yang memasuki pekarangan rumah membuat ia mengurungkan niat. Angkasa pulang.

Dengan langkah tergesa, Adhara berjalan cepat menuju tangga sebelum sempat bertatap muka dengan Angkasa. Ia sedang tidak ingin bicara karena mungkin saja dapat memperkeruh suasana.

"Adhara."

Suara bernada datar namun menyiratkan kelelahan itu menyapa indra pendengarannya. Ia memilih tidak menggubris panggilan Angkasa dan tetap melanjutkan langkahnya.

"Ra, dengerin aku dulu."

Mendengar Angkasa yang memohon dengan raut wajah lelah kentara membuat Adhara tak tega. Tapi ia tetap pada pendiriannya.

"Adhara, please. Kita harus bicara," pinta Angkasa.

Kaki-kaki Adhara menaiki tangga tanpa peduli Angkasa mengejar di belakangnya.

Tangan Angkasa berusaha menggapai tangan Adhara namun dengan cepat gadis itu menepisnya. "Apa, sih?! Aku lagi gak mau ngomongin itu!"

"Sebentar aja."

"Enggak."

Kilatan kemarahan terlihat di kedua manik mata Angkasa. Ia sudah habis kesabaran menghadapi Adhara yang keras kepala. Ia ingin memperbaiki semuanya. Tapi ternyata, gadis itu yang tidak mau.

"Adhara, bisa nurut gak sih?!"

Akhirnya, satu teriakan meluncur mulus dari mulut Angkasa. Lelaki itu bahkan menarik tangan Adhara dengan kasar hingga gadis itu berbalik dalam satu hentakan.

"Apa? Mau ngomong apa lagi?" tanya Adhara sembari mengangkat dagunya seolah menantang.

"Kamu tuh, kenapa sih, keras kepala banget?! Bisa gak sih, hargain  aku sedikit aja?!" seru Angkasa marah.

Adhara menggeleng. "Aku yang seharusnya tanya sama kamu! Kamu bisa hargain aku gak sih, sebagai istri kamu?! Kamu pikir aku apa, hah?! Masih ada harganya gak aku di mata kamu?!"

"Kamu gak pernah mau ngerti! Kamu gak pernah mau percaya sama aku! Aku selalu berusaha jujur sama kamu! Tapi apa?! Kamu malah tutup telinga, nelan semua kebohongan yang dikirim anonim sialan itu! Kamu bersikap seolah-olah kamu tau semuanya padahal gak ada yang kamu tau!"

Napas Angkasa terlihat semakin tidak teratur. Ia mencengkram pegangan tangga dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih, terlampau putih malahan.

Sementara itu, Adhara yang awalnya hendak memendam emosinya agar mereka tak berakhir dalam sebuah perkelahian mendadak emosi mendengar penuturan Angkasa.

Gadis yang sebaya dengannya itu meremat ujung bajunya kuat-kuat. "Iya, semua aja salah aku! Adhara yang egois! Adhara yang mau menang sendiri! Adhara yang kekanakan! Semua salah aku!" balasnya tak kalah emosi.

"Aku beneran gak ada apa-apa sama Ghaitsa! Dia yang selalu cari masalah sama aku duluan! Dia yang jadi dalang dibalik semuanya! Dia kerja sama bareng Angkala buat ngehancurin kita!"

"Gimana aku bisa percaya kalau ini bisa jelasin semuanya?! Kamu kira aku gak tau itu apa, hah?! Adhara menunjuk leher Angkasa tepat di area yang memiliki bekas kemerahan.

Angkasa refleks memegang lehernya sendiri. Ia mengumpati Angkala dan Ghaitsa dalam hati karena dengan bodohnya terjebak di permainan mereka.

"Ini bisa aku jelasin! Asal kamu mau dengerin aku!"

Kepala Adhara tergeleng. Ia berbalik lagi menaiki tangga menuju kamarnya. Namun lagi-lagi Angkasa berhasil menahan tangannya.

"Jangan egois kayak gini, Kartika! Jangan bikin aku makin emosi!" Nama belakang Adhara sudah disebut, menandakan Angkasa ada di ambang kemarahannya.

Mata Adhara sudah memerah menahan tangis. "Aku selalu berusaha percaya sama kamu! Aku selalu berusaha! Tapi kamu selalu ngerusak itu semua! Aku capek, Ka! Aku capek ada di posisi ini! Aku juga pengen bahagia!" ujarnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi Ghaitsa selalu muncul buat ngancurin kebahagiaan aku! Jalang itu yang bikin aku menderita!"

Plak!

Tangan Angkasa bergerak menampar pipi Adhara hingga muncul bekas telapak tangan. Ia benar-benar tidak percaya Adhara akan mengucapkan kalimat seperti itu.

"Jaga omongan kamu! Aku gak pernah ngajarin kamu ngomong kayak gitu!"

Mata Adhara sudah berkaca-kaca. Ia tersenyum kecewa sembari memegangi pipinya yang terasa perih. Satu bulir air mata jatuh begitu saja namun dengan cepat ia usap dengan punggung tangan.

"Kamu mau belain dia? Silahkan. Terserah kamu. Aku capek. Aku capek ngadepin semuanya. Iya, aku selalu salah," ucap Adhara dengan suara serak. Tenggorokannya terasa tercekat. "Di mata kamu."

Angkasa mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Kenapa bisa-bisanya ia menampar Adhara seperti itu? Ia selalu berjanji pada dirinya sendiri tidak akan main tangan pada Adhara. Namun kenyataannya, ia melanggar janjinya sendiri.

"Udahlah, aku mau pergi." Adhara mendongak, menahan air matanya yang hampir jatuh lagi. Ia membalikkan tubuh lantas pergi.

"Adhara!" panggil Angkasa dengan nada tinggi.

Lelaki Athara itu mengusap wajahnya sekali lagi, mendengus pelan. "Kalau kamu emang mau pisah, bilang sekarang! Kalau kamu emang capek sama aku mending kita udahan aja! Aku udah gak ngerti sama kamu! Dan kamu udah gak berusaha ngertiin aku! Aku juga capek, Adhara! Aku capek jalanin semuanya sama kamu!"

Hati Adhara serasa mencelos. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan. Ia hanya berniat mendinginkan pikirannya lalu kembali membahas masalahnya nanti.

Angkasa sudah gila. Dan ia lebih gila karena dengan lantangnya menjawab,

"Ayo, kita pisah."

Jika sudah sama-sama lelah, apa lagi yang perlu dipertahankan? Jika sudah tidak saling mengerti, untuk apa tetap menjalin hubungan? Sia-sia, karena pada akhirnya kedua belah pihak yang akan tersakiti.














_____
A/N:

wow, ternyata lebih ricuh dari chapter sebelumnya. maapkan aku karena bikin 2hyunjin karam hehe. silahkan hujat aku :)

tapi daripada menghujat lebih baik kita maaf-maafan karena besok sudah lebaran😂

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now