5. Aku Senang Bertemu Denganmu Lagi

859 156 16
                                    

(Alur dipercepat dua minggu)

Pagi datang menjemput. Langit berwarna biru muda gelap dengan jingga yang perlahan mendominasi. Matahari sebentar lagi akan terbit.

Adhara menumpukan tangannya di pinggiran wastafel. Ia menundukkan kepalanya dengan wajah memucat. Dahinya dipenuhi keringat akibat terus menerus memuntahkan isi perutnya.

Setelah shalat Subuh tadi, Adhara berencana membereskan rumah kemudian memasak. Tapi nyatanya niat tersebut harus lenyap karena tubuhnya terasa lemas.

Adhara berbalik hendak kembali ke kasur. Mungkin dengan tidur walaupun hanya setengah sampai satu jam dapat memulihkan keadaan tubuhnya.

Adhara menutup pintu kamar mandi. Netranya menangkap Angkasa baru saja bangun. Lelaki itu terduduk di sisi ranjang dengan tangan mengusap-usap matanya.

Tanpa banyak bicara, Adhara segera membaringkan tubuhnya lantas menyelimuti dirinya hingga sebatas leher. Adhara tidak peduli dahinya masih dipenuhi keringat. Ia benar-benar lelah setelah beberapa kali bulak-balik ke kamar mandi.

"Kamu sakit, by? Kok, mukanya pucet gitu?"

Baru saja Adhara memejamkan matanya, suara bernada khawatir dari Angkasa membuatnya mau tak mau kembali membuka mata. Ia mengangguk lemah menanggapi pertanyaan lelaki itu.

Adhara tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Ia berlari ke kamar mandi lantas memuntahkan kembali isi perutnya.

Angkasa segera menyusul. Ia mendapati Adhara masih mual-mual. Lelaki itu memijat tengkuk Adhara agar gadis itu merasa lebih baik.

Tangan Angkasa bergerak menyeka keringat di dahi Adhara. Suhu tubuhnya normal tapi Adhara terlihat pucat sekali.

"Kita ke dokter, yuk?" ajak Angkasa. Ia mengusap-usap rambut Adhara lembut.

Kepala Adhara menggeleng. "Gak usah. Kamu 'kan hari ini kerja. Aku juga mau kerja di rumah sakit. Aku gapapa, kok," tolaknya halus.

Angkasa bergeming. "Aku gak bakal kerja. Ayo, kita ke dokter," ucapnya final.

"Aku gak sakit."

"Gak. Kamu sakit. Kita ke dokter. Gak terima penolakan."

Lelaki Athara itu memposisikan tangannya di bahu Adhara. Ia membantu gadis itu berdiri tegak lantas melingkarkan tangannya di pinggang Adhara.

"Gak usah dipapah, aku bisa sendiri," kukuh Adhara. Ia melepaskan tangan Angkasa dari pinggangnya tetapi tangannya bertumpu pada lengan lelaki itu.

Jam di dinding kamar menunjukkan pukul 06.55 pagi. Angkasa memapah Adhara menuruni tangga menuju ke garasi. Meskipun gadis itu menolak berkali-kali.

Mobil hitam Angkasa seperti biasa terparkir rapi di dalam garasi bersanding dengan sebuah motor yang sering dibawa Angkasa semasa SMA dulu. Lelaki itu mengeluarkan kunci mobilnya lantas mendudukkan Adhara di kursi penumpang seperti biasa. Baru setelahnya ia duduk di kursi pengemudi.

Angkasa memutar tubuhnya ke belakang, mengambil selimut tebal yang selalu ia bawa di kursi belakang. Ia mengulurkan selimut itu pada Adhara, memaksa gadis itu agar memakainya.

"Pake, masih pagi jadi udaranya dingin," titah Angkasa.

Selimut tersebut direntangkan Adhara hingga menutupi tubuhnya. Ia menekuk lututnya agar kakinya ikut tertutupi selimut tebal.

Saat lampu merah, Angkasa menolehkan kepalanya ke arah Adhara. "Kamu berhenti kerja aja, ya. Jadi kamu gak usah capek dua kali. Cukup ngurus rumah aja," ujarnya.

"Kenapa harus kayak gitu?" tanya Adhara tak terima.

Bahu Angkasa mengendik. "Kamu keliatannya capek banget. Kayak sekarang, kamu sakit 'kan?"

[2] Semesta | 2HyunjinWhere stories live. Discover now