[24] rencana untuk pergi

1.6K 109 0
                                    

/aku merasa harus meninggalkan dia, karena itu memang sudah takdir yang menuliskannya. saat ini aku mungkin masih bersamanya, tapi itu hanya sebuah bentuk penguluran waktu saja/

Kemarin saat hari terakhir di Bandung, niat Alan untuk pulang lebih awal terpaksa harus gagal. Karena jiwa kedokteran yang sangat tinggi, Alan tak memedulikan lagi keadaannya, kesibukannya, bahkan situasinya seperti apa. Yang terpenting saat itu hanyalah keselamatan seseorang yang meski tidak dia kenal siapa namanya. Meski dengan tindakan penyelamatannya itu dia harus sangat terlambat datang ke tempat kerja, tapi bagi dirinya sendiri, pekerjaan sebagai seorang dokter bukan hanya di rumah sakit, tapi di mana pun dan kapanpun.

Akibat keterlamabatannya itu, Alan terpaksa mengambil lembur sampai sekitar pukul satu pagi. Karena merasa lelah dan tak kuasa untuk menyetir mobilnya, Alan pun memutuskan untuk menginap di rumah sakit dan terlelap di ruangannya. Karena jika pulang pun, Alan harus kembali pagi-pagi ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya.

Seperti itu terus-menerus. Siklusnya tak pernah berubah. Datang ke rumah sakit, memeriksa pasien, dan memastikan semua yang membutuhkan bantuan di rumah sakit ini terjamin keselamatannya dan diperlakukan dengan baik. Meski lelah dan terkadang merasa bosan, tapi Alan tetap menikmatinya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar enam jam sedari pagi, bolak-balik kamar pasien dari lantai atas ke bawah. Akhirnya di siang hari, para staff rumah sakit yang tengah kelelahan itu diberi waktu untuk beristirahat di kantin rumah sakit.

"Eh, Lan!" seru Rendy sebagai salah satu teman sesama dokter yang bekerja di rumah sakit. "Ngomong-ngomong soal study kamu ... itu kapan dilaksanakan?"

Alan mengunyah makanan dan menelannya terlebih dahulu sebelum membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Rendy. "Mungkin sebentar lagi sih, soalnya udah ditanya-tanyain juga sama orangtua aku."

Rendy menganggukkan kepalanya sembari menyeruput es jeruknya yang tinggal setengah. "Terus kalau kamu pergi, gimana sama cewek itu?"

Karena bakso di dalam mangkuknya telah habis, Alan sedikit menggeser mangkuk itu menjauh dan menarik gelas es tehnya mendekat. Menyeruput isinya sebagian sembari memikirkan jawaban untuk Rendy.

"Maksud kamu Fakhira?" tanya Alan.

"Ya iyalah!" dengus Rendy. "Ya masa suster Friska? Emangnya kamu udah naruh hati sama dia?" tanya Rendy sembari melirikkan matanya ke arah beberapa suster tengah menyantap makan siangnya di satu meja yang sama. Salah satu di antara mereka ada yang bernama Friska yang saat ini tersenyum ramah ketika mendapati Rendy dan Alan memandangnya.

"Kamu bercanda," ujar Alan sembari memainkan sedotan di dalam gelas es tehnya.

"Kenapa harus bercanda? Kan emang bisa aja kamu suka sama dia. Karena kalau dari gosip suster yang lain sih ... Friska naruh hati ke kamu," ungkap Rendy dengan sedikit senyum menggodanya pada Alan.

Tanpa sadar Alan menolehkan kembali pandangannya pada kumpulan suster itu dan memerhatikan Friska untuk beberapa saat. Jika dilihat-lihat, suster itu memang sangat cantik dan juga dewasa. Tubuhnya yang tinggi dan pembawaannya yang sangat friendly itu membuat para staff rumah sakit berjenis kelamin pria tak jarang menaruh hati padanya.

"Dia cantik," komentar Alan dan kembali mengalihkan pandangannya dari suster itu karena takut ketahuan.

"Cantik mana sama cewek itu?" tanya Rendy yang terlihat sangat minat dengan topik yang mereka bahas.

"Fakhira cantik," komentar Alan dengan ekspresi yang sama ketika mengomentari Friska.

"Iya emang cantik, tapi kalau dibandingin gitu loh maksudnya. Lebih oke yang mana?" Rendy semakin bersemangat. Bahkan, kursinya sedikit dimajukan lebih mendekat ke depan meja karena mereka kini duduk saling berhadapan.

Komunikator (Completed) ✓Where stories live. Discover now