[34] sate ibu kota

1.3K 108 0
                                    

/saat pergi, kemungkinan tentang tak akan ada lagi kata kebersamaan, pudar begitu saja ketika tawa mengawali pertemuan/

Hal-hal yang dinantikan selama bertahun-tahun oleh Fakhira, akhirnya terjadi juga. Di mana dia telah mengesampingkan semua keganjalan beserta alasan-alasan yang hanya membuat dirinya merasa tertekan saja.  Mulai saat ini, Fakhira akan jatuh cinta dengan benar.

Sebelumnya Fakhira sempat berpikir, apa yang akan mereka rasakan ketika kembali? Fakhira mengira, Alan akan berubah dan benar-benar ingin membuatnya tak lagi mengharapkan kehadiran Alan di hidupnya. Tapi setelah kejadian tadi saat di bandara, dada Fakhira menghangat dan juga bahagia.

Terlebih ketika dia tahu, Alan tak membiarkan orang lain menjemputnya. Hanya Fakhira yang datang ke bandara untuk menjemput Alan sore hari itu. Fakhira tentu merasa bahagia, meski masih banyak tanya dalam benaknya.

"Oh iya, Kak, kenapa Kak Alan cuma nyuruh aku aja yang jemput kedatangannya Kakak?" tanya Fakhira ketika dia tengah duduk berhadapan bersama Alan di depan meja kayu dengan dua piring tusuk sate di antara keduanya. Fakhira mengabulkan permintaan Alan yang ingin makan sate di pinggir jalan ibu kota.

"Kamu keberatan jemput aku sendirian?" Alan balik bertanya.

"Mana mungkin seperti itu, 'kan?" Fakhira menatap lekat Alan dengan kedua alis dinaik-turunkan saat mulutnya mengunyah daging ayam.

"Terus kenapa harus dipertanyakan?"

"Ya ... aku nggak mau GR aja. Nanti pas udah GR, tahunya cuma salah paham. Kan nggak lucu banget," jawab Fakhira dengan penuh ekspresif ketika mengucapkan setiap kalimatnya di hadapan Alan.

"Emangnya apa yang harus disalahpahami?" tanya Alan ketika baru saja menelan daging ayam yang telah dikunyahnya.

"Apa, ya? Aku juga nggak tahu," kata Fakhira sembari mengambil satu tusuk sate dari atas piringnya. "Aku serius, Kak Alan. Kak Alan tinggal di Jakarta sama keluarganya, 'kan? Kok mereka nggak dikasih tahu?"

"Aku sengaja cuman ngasih tahu kamu, karena aku mau kamu jadi satu-satunya orang yang pertama kali aku temui di Jakarta." Alan menatap lekat kedua manik Fakhira sembari menggeser piring dengan tusuk-tusuk sate di atasnya. Kedua tangannya terlipat di atas meja.

"Apa seistimewa itu sampai Kak Alan lebih mementingkan aku ketimbang keluarga Kak Alan sendiri?" Fakhira pun melakukan hal yang sama. Dengan piringnya yang dia geserkan, kedua tangannya ikut bertumpu di atas meja. Menatap balik kedua manik Alan yang begitu lekat menatapnya. "Apa mereka nggak akan khawatir?"

"Aku itu udah besar, Kira, aku udah seharusnya seperti itu. Lagipula ... aku nggak ngasih tahu siapa pun kalau aku pulang hari ini. Aku cuman kasih tahu kamu," jawab Alan dengan yakin meski tak ada seulas senyum di kedua belah bibirnya.

Fakhira mengembungkan pipinya dan berkedip saat itu juga. Memastikan bahwa pria yang berara di depannya adalah wujud nyata dari dokter manisnya. "Apa aku boleh merasa sangat beruntung sekarang?"

Alan tersenyum dan membuat kedua tangannya sedikit bergerak maju."Aku yang beruntung, Kira. Aku beruntung banget bisa kenal dekat sama kamu."

"Aku yang menyebalkan," kata Fakhira sembari memutar kedua bola matanya. "Begitu maksudnya?"

"Ya, kamu memang menyebalkan." Raut wajah Alan berubah menjadi sedikit serius dengan kedua matanya yang semakin lekat menatap Fakhira. "Kamu sering banget bikin aku kesel, karena memaksa aku berpikir jauh, yang aku sendiri juga nggak mau memikirkan itu."

Fakhira menopang dagu dengan kedua telapak tangannya. "Maksudnya?"

"Meski kamu nggak mengucapkan pernyataan itu secara langsung sama aku, tapi aku sadar dengan semua pemikiran kamu selama ini, Kira," ungkap Alan yang membuat Fakhira menegang seketika. "Terlepas dari ceritanya Rendy, jauh sebelum itu aku udah tahu."

"Maksudnya ... maksudnya Kak Alan apa?" Fakhira tak lagi menopang dagunya. Kedua tangannya tergeletak di atas meja dengan sirat mata penuh kekhawatirannya.

"Soal tugas ayah kamu," jawab Alan, tenang. Nada tenang yang terkadang membuat Fakhira tak bisa mengartikan maksud sebenarnya untuk apa.

Ekspresi yang penuh kegembiraan, tiba-tiba menghilang dan Fakhira kembali merasa khawatir dengan keadaan. Bahkan, posisi duduknya terasa sangat tidak nyaman. "Soal itu ... aku berhak berpikir seperti itu, 'kan?"

Alan menautkan kedua ujung alisnya dan kembali bertanya, "Apa sekarang masih seperti itu?"

"Aku enggak tahu, Kak, tapi yang jelas ... aku mencintai Kak Alan dan nggak mau kehilangan Kak Alan hanya karena aku berpikir nggak jelas seperti itu." Fakhira menatap Alan dengan yakin. Sedikit menyesali pemikiran bodohnya yang memang terpikir secara logika ketika dia terus memikirkannya.

"Kira, aku tulus sama kamu ...." Alan menggapai tangan kanan Fakhira dan dia genggam erat dengan kedua tangannya.

Fakhira mengangguk dengan air mata yang telah berkumpul di pelupuk matanya. "Aku juga."

Dengan isak tangis yang kembali terdengar dari mulut Fakhira, Alan segera bangkit dan berpindah tempat untuk duduk di samping Fakhira. Alan merengkuh tubuh Fakhira ke dalam pelukannya. Menyalurkan betapa hangatnya mereka untuk tidak saling meninggalkan lagi.

Dengan tangan kanan merangkul Fakhira dan mengelus lembut kepalanya, Alan bertanya, "Jadi, apa kamu akan mengizinkan aku untuk bersama kamu?"

Kedua tangan Fakhira dengan segera menghapus jejak air matanya dan menggerakkan mata untuk menatap Alan. "Gimana?"

Wajah mereka kini saling bersisian. Dengan tangan Alan yang masih merangkul Fakhira, jarak di antara keduanya terbilang cukup dekat sehingga bisa merasakan deru napas satu sama lain.

"Aku nggak akan pulang dulu," kata Alan dengan senyum manisnya yang dia tampilkan tepat di hadapan Fakhira. "Aku akan bersama kamu."

"Tapi aku udah nggak punya rumah, kecuali Kak Alan mau ikut aku ke ...." Fakhira tak melanjutkan ucapannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan tertawa kecil. Cukup terdengar oleh Alan dan membuatnya ikut tertawa kecil juga.

Jarak keduanya terlalu dekat. Membuat Alan dengan mudah mendaratkan satu kecupan singkat di kening Fakhira. Tentu Fakhira tak dapat menahan kedua tangannya untuk kembali melingkar di pinggang Alan ketika dokter itu membiarkan dagunya tetap berada di atas kepala Fakhira.

"Nggak papa. Nanti aku bisa sewa salah satu apartemennya," ucap Alan, lembut.

"Sewa apartemen di sana harus perbulan, Kak," ujar Fakhira sembari menempelkan pipinya dengan nyaman di atas dada Alan yang masih terbalut baju yang sama. "Sayang kalau cuma buat sehari."

"Ya udah, kalau begitu aku sewa ruang depan apartemen kamu aja. Harus berapa bulan atau tahun?"

Mendengar itu, Fakhira segera menggerakkan kepalanya sedikit menjauh. Membuat dagu Alan pun bergerak mundur. "Serius? Tapi ...."

"Atau kalau boleh, aku langsung bayar sewa buat di sini aja deh." Alan tersenyum dan menggunakan tangan kirinya untuk mendarat dengan halus tepat di depan dada Fakhira yang saat ini tengah sangat bergemuruh hebat. "Kira-kira kontraknya harus berapa lama minimal?" tanya Alan dan kembali menarik tangan kirinya

"Selamanya," jawab Fakhira dengan yakin meski kegugupan yang melanda tak dapat dia sembunyikan secara keseluruhan.

"Oke, setuju. Aku sewa," kata Alan sembari tersenyum lebar.

"Kalau aku gimana? Ada tempat nggak di sana?" Fakhira menunjuk dada Alan dengan jari telunjuknya.

"Ada. Udah ada namanya di sana, milik Fakhira selamanya."

Mendengar hal itu, kebahagiaan dalam diri Fakhira terasa semakin lengkap saja.


To be continued

Kazza 🐨

Komunikator (Completed) ✓Where stories live. Discover now