[38] tuntutan

1.9K 133 3
                                    

/hati orang yang tengah kecewa memang seperti itu. layaknya hujan di malam hari, sangat dingin dan mematikan sehingga tak ada insan yang mampu menghentikannya/

Bukan lagi hanya rasa sakit dan juga kecewa karena fakta telah memberitahu apa kenyataannya, tapi juga waktu seakan berhenti untuk berpihak dan tak ada lagi seseorang yang akan menenangkan dengan kata "Semua akan baik-baik saja". Karena di saat kebohongan terungkap, saat itu juga rasa dalam diri Fakhira ikut berlomba-lomba untuk segera lenyap. Meski sebenarnya dia tahu, butuh waktu lama untuk menerima semua kenyataannya.

Ketika penantian berakhir, kini keraguan kembali dengan alasan yang berbeda. Baru saja kemarin ini Fakhira merasa semua akan baik-baik saja, tapi hari ini ... waktu telah memberitahu bahwa, tak akan ada kata baik-baik saja untuknya.

"Kalau aku memang bukan anak Ayah, terus kenapa sebelum ini aku pernah tinggal bersama Ayah? Kenapa aku harus memanggilmu Ayah? Dan kenapa aku sangat sayang Ayah? Sebenarnya siapa yang salah, Yah? Aku atau Ayah?"

Fakhira menatap lekat pintu cokelat yang terbuka lebar. Membiarkan punggung bergetarnya  ditonton semua insan yang berada di sana. Memberitahu semua, jika dia sedang tidak baik-baik saja.

"Jika memang aku bukan anak Ayah, aku nggak papa. Tapi bagaimana dengan ibu? Ibu tetap menjadi istri Ayah, 'kan?"

Dengan Fakhira yang tak dapat melihat bagaimana orang di sekitarnya berekspresi saat ini, dia merasa sendiri. Seakan dia hanya bertanya pada denting jarum jam yang terdengar samar ketika keheningan di ruangan itu menerpa. Fakhira merasa serba salah, pun hanya dengan isak tangisnya yang terdengar tak guna.

"Oke aku pergi, Yah ...," putus Fakhira ketika beberapa menit menunggu, tapi tak kunjung ada sepatah kata pun keluar dari Pramudya atau yang lainnya.

Fakhira menghapus air matanya dengan kasar. Berlari sekuat tenaga keluar rumah sembari mencari kunci mobil di dalam tas kecilnya. Tapi ketika baru saja dia akan membuka pintu mobil, Alan dengan sangat tiba-tiba datang dan menghalangi pintu mobil itu sehingga Fakhira tak dapat membukanya.

Dengan kedua mata memerah dah penuh emosi, Fakhira berseru, "Pergi, Kak!"

Alan merentangkan kedua tangannya di depan pintu mobil sehingga tak ada akses untuk Fakhira membukanya. Meski seluruh tubuhnya terasa lemas sejak Fakhira mengetahui semua faktanya barusan, tapi Alan berusaha berdiri tegak agar gadis di depannya pun dapat setegar yang dia harap.

Alan menggeleng dan menatap lekat kedua mata Fakhira. "Aku nggak mau kamu pergi, Kira, tolong ...."

"Tolong apa? Tolong untuk sudi buat dibodohi Kak Alan lagi?" tanya Fakhira tanpa nada suaranya yang tenang. Tak ada lagi binar bahagia, tapi yang ada hanya rasa sakit semata dalam dirinya.

"Enggak, Kira, bukan seperti itu ...." Alan mencoba menggapai tangan Fakhira untuk digenggamnya, tapi dengan sangat keras Fakhira segera menangkisnya.

Fakhira menyahut dengan tak lagi menyiratkan rasa hormat yang biasa dia tujukan pada Alan. "Lalu apa? Apa alasan Kak Alan melarang aku pergi? Toh ayah juga udah usir aku, trus buat apa aku masih di sini?"

"Kita bisa bicarakan semua ini baik-baik, Kira ...."

Meski keadaannya telah berbeda, tapi Alan yang selalu menenangkan tak akan pernah bisa berubah. Alan masih mencoba terlihat tenang, sama seperti kejadian sebelum-sebelumnya ketika Fakhira selalu bertanya-tanya tentang bagaimana nasib hidup dia selanjutnya.

"Aku capek terus-terusan nurutin kata baik-baik versi Kak Alan itu, aku udah capek!" seru Fakhira sembari mengacak rambut panjang yang telah disisirnya rapi sejak pagi.

Komunikator (Completed) ✓Where stories live. Discover now