[42] pengajuan syarat

2.2K 147 17
                                    

/setelah apa yang terjadi di masa lalu, tentang sakit dan pahit terhalang fakta. wajarkah bersikap seolah semua baik-baik saja untuk meminta kedamaian kembali?/

✓✓✓

Hari ini, telah tepat dua hari sejak Alan dan Fakhira bertemu di pantai pagi itu. Seperti apa yang Alan informasikan, Fakhira diminta datang ke rumah sakit untuk bertemu dengan ayahnya.

Tidak ada rasa enggan sama sekali sebenarnya. Hanya saja, Fakhira takut dia lemah dan tak bisa menerima kenyataan jika nanti perlakuan Pramudya terhadapnya jauh lebih buruk dari saat mengusir dia di rumah Alan tempo hari lalu.

Dengan pertemuan hari ini juga, Fakhira menyadari bahwa Alan mungkin saja mencoba untuk menepati janjinya. Mempertemukan Fakhira dengan ayahnya. Mungkin saja.

"Mau cari dokter Alan, ya?" tanya Friska yang kebetulan sedang berada di lobi saat Fakhira baru saja memasuki rumah sakit.

Fakhira mencoba tersenyum tipis dan menggeleng kecil. "Aku mau ketemu pak Pramudya," jawab Fakhira, dengan sengaja menyebut nama ayahnya tanpa embel-embel ayah seperti biasanya.

Friska menggangguk paham dan tersenyum hangat. Seperti biasanya. Berbuat baik terlebih dahulu sebelum akhirnya tetap saja melarang atau membuat alasan agar Fakhira tak bisa bertemu dengan pemilik rumah sakit ini.

"Pak Pramudya lagi di ruangan bersalin. Istrinya baru saja melahirkan," ujar Friska. Saat ini, tidak lagi dia berkata bahwa Pramudya sedang ada pasien atau tidak ada di rumah sakit.

Ruang bersalin. Dengan begitu, Fakhira mengangguk paham ketika mengingat kembali istri baru ayahnya yang memang sedang mengandung ketika pertama kali dia melihatnya.

"Kalau begitu aku kerja dulu, ya?" pamit Friska sembari berlalu pergi.

"Makasih," ujar Fakhira saat Friska berjalan melaluinya.

Bagaimanapun juga, jauh sebelum hubungan kedua orangtuanya merenggang, Fakhira sempat sangat dekat dengan ayahnya. Maka dari itu, dia selalu mencoba dan terus mencari cara bertahun-tahun lamanya hanya untuk bertemu sang ayah. Dan hari ini, hari di mana dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah dinanti sejak ketiadaan ibunya.

Ketika berjalan menuju ruang bersalin, ingatannya terputar pada kejadian di mana saat dia sangat senang sekali berlarian dalam rumah sakit ini. Entah itu berlari saat dia masih kecil, atau berlari di waktu beberapa tahun lalu saat semua staff rumah sakit melarangnya untuk masuk dan mencari Alan atau ayahnya.

"Fakhira?"

Saat Fakhira membuka pintu ruang bersalin dan mendapati Pramudya memanggil namanya, sulit untuk dia memastikan bahwa itu bentuk sapaan selamat datang atau keterkejutan karena kedatangannya. Namun karena tak ingin terlihat seperti satu-satunya orang bodoh di ruangan itu, Fakhira mencoba bersikap dewasa dengan tersenyum tipis dan melangkah masuk ke ruangan itu.

Di atas blankar tempat Pramudya berdiri, terbaring seorang wanita cantik dengan bayi mungil di sampingnya. Bibirnya yang tersenyum ke arah Fakhira membuat gadis itu sempat ingin mengumpat dan merutukinya. Namun, kembali tak Fakhira lakukan dan hanya tersenyum kecil sampai berdiri di samping lain blankar itu. Berdiri berhadapan dengan ayahnya di antara blankar tempat wanita itu terbaring.

"Selamat," kata Fakhira dengan kedua matanya yang terfokus pada bayi mungil itu. Dari garis wajahnya yang manis, bisa dipastikan bahwa jenis kelaminnya perempuan. Mirip wanita yang berada di sampingnya.

Dalam keadaan seperti ini, tak bisa Fakhira memikirkan untuk merangkai kata yang sebenarnya telah dia siapkan dari dua hari yang lalu. Yang ada kini, matanya hanya memanas dan hatinya tetap merasa sakit. Jauh lebih sakit dari apa yang dia rasakan saat terusir di rumah Alan tempo hari lalu.

Komunikator (Completed) ✓Where stories live. Discover now