[29] m e n e t a p

1.3K 101 1
                                    

/ketika hati ini diperintahkan untuk beristirahat, maka sendiri adalah cara paling mujarab/

Perbincangan di dalam apartemen malam hari itu, menyisakan kesedihan pada diri Fakhira. Ketika dia baru saja benar-benar yakin dengan perasaan yang harus dipertahankan, tapi semua keyakinan harus terjadi ketika Alan pergi meninggalkan. Sedikit sakit, tapi Fakhira tak dapat berbuat apa pun selain berusaha untuk tenang dan mengendalikan semuanya.

Semalaman ketika dia berada di atas kasur bersama Lisa dan Widia di kedua sisi tubuhnya, Fakhira terus memikirkan suatu hal yang dirasa harus dia lakukan. Menetap di apartemen dan pergi meninggalkan rumah adalah sebuah keputusan. Meski itu tandanya dia mungkin tak akan satu atap lagi dengan Lisa, tapi Fakhira berpikir memang harus melakukannya.

Ketika Fakhira menggerakan badannya untuk bangkit dari atas kasur, Widia tiba-tiba terbangun dan menatap Fakhira dengan kedua matanya yang mengantuk.

"Mau ke mana, Fak?" tanya Widia sembari mengucek kedua matanya dan terduduk di atas kasur, menemani Fakhira.

"Haus gue, Wid, mau ambil minum," jawab Fakhira dan merangkak turun dari kasur.

"Eh!" tahan Widia dengan segera menyusul Fakhira. "Gue aja yang ambilin, gue haus juga," lanjut Widia dan berlalu meninggalkan kamar.

Fakhira hanya mengangguk dan berjalan ke arah sofa yang berada di dalam kamar itu. Bersila di atasnya dengan bantal kecil berwarna abu di atas pangkuan. Dari jarak itu, Fakhira mendapati tantenya tertidur pulas di atas kasur. Mungkin, dia harus membicarakan perihal keputusannya untuk menetap saja di apartemen ini kepada Lisa setelah dia bangun nanti.

"Nih!" Widia kembali dengan membawa satu gelas berisi air putih dan memberikannya pada Fakhira.

"Makasih, ya." Fakhira menerimanya dan segera meneguk setengah dari isi gelasnya.

"Lo kebangun atau belum tidur dari tadi?" tanya Widia sembari terduduk di samping Fakhira dengan punggung yang disandarkannya ke sofa.

"Gue nggak bisa tidur, Wid, gue kepikiran terus," kata Fakhira dengan jari-jari tangan melingkar pada permukaan gelas yang dia letakkan di atas bantal kecilnya.

"Kak Alan?" tanya Widia tanpa menoleh pada Fakhira dan tetap memandangi langit-langit kamar barunya Fakhira.

"Iya," ujar Fakhira sembari mengangguk kecil. "Padahal baru mau empat hari ditinggal, tapi rasanya udah kangen banget."

"Emangnya kalian nggak ada kontekan?" tanya Widia masih tetap bersandar, tapi kepalanya menoleh pada Fakhira.

"Belum gue coba, gue takut ganggu dia."

Karena Fakhira tahu, Alan pergi untuk melanjutkan study-nya di sana. Mempelajari setiap mata kuliah seorang dokter pasti sangat tidak mudah dan Fakhira tak ingin mengganggu konsentrasinya. Terlebih lagi ... Alan sepertinya tinggal sendiri di sana, pasti dia harus menyiapkan segala sesuatunya seorang diri. Fakhira tahu, Alan pasti tengah sibuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.

"Takut ganggu dia atau takut nggak direspons dia?" Widia menebak.

"Dua-duanya," jawab Fakhira.

"Ya udah sih, cobain aja."

"Enggak ah, nanti aja." Fakhira menggeleng dan menaruh gelasnya ke atas meja kecil di samping sofa. Ikut menyandarkan punggungnya pada sofa dan menutup rapat matanya.

"Terus sekarang rencananya mau gimana?" Melihat posisi Fakhira yang rileks, Widia pun ikut mengangkat kedua kaki ke atas sofa dan bersila.

"Apa?" tanya Fakhira tanpa bergerak membuka mata atau menoleh pada Widia.

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang