[39] dokter pribadi

2.1K 130 1
                                    

/semua memang telah tertulis dalam takdir. lengkap dengan paket lukanya. namun aku tak menyangka, ternyata rasanya akan sesakit ini/

Apa yang terjadi pada Fakhira saat ini, rasanya beribu kali lebih sakit dengan apa yang pernah dia rasakan ketika kehilangan Angela maupun ditinggalkan Alan sebelum ini. Karena semua yang terjadi hari ini adalah sebuah masalah inti dari apa yang selama ini menggelayuti. Tentang bagaimana hidupnya berubah, tentang bagaimana cintanya hilang, tentang rasa kecewa dan juga kehilangan kepercayaan.

Bukan keinginan Fakhira untuk merasakan jatuh cinta ketika semua hal buruk bahkan berada tepat di hadapannya. Semua yang Alan sembunyikan terlihat sangat rapi sehingga dia tidak menaruh curiga sama sekali.

Ketika dia keluar dari rumah sakit, kedua kakinya melangkah dengan gontai menyusuri jalanan ibu kota yang terlihat ramai. Dengan mendungnya hari ini, dapat menjabarkan betapa abunya hidup Fakhira dan juga hati yang menangis di dalamnya.

Kedua kaki Fakhira terhenti di sebuah jembatan dengan beberapa kendaraan roda dua maupun empat melintas di sana. Dengan pandangannya yang mengabur, Fakhira kembali terisak dan berjongkok di atas aspal. Membiarkan kepalanya dia benturkan pada lutut agar sadar betapa bodohnya dia selama ini.

Telah bertahun-tahun semua berlalu, tapi semua kebenaran baru terungkap saat ini. Berbagai tanya telah Fakhira utarakan, tapi tak juga ada jawab dari sang pemberi harapan. Saat ini, ketika semua tanya terjawab dengan fakta ... bukan perasaan lega yang terlintas dalam diri Fakhira, tapi rasa tak percaya yang terus menggelayutinya.

Bagaimana mungkin dia akan merasa baik-baik saja setelah ini? Karena, obat untuk merasa baik-baik sajanya pun, telah terungkap berdusta padanya.

"Fakhira, kamu kenapa?" tanya seorang pria yang terlihat membungkukkan badannya pada Fakhira.

Fakhira yang masih menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya, saat itu perlahan mengangkat wajahnya. "Andre?"

Andre membantu Fakhira untuk bangkit dengan menarik kedua tangannya. Karena dirasa tubuh Fakhira sangat lemas, dia pun mengaitkan tangannya pada Fakhira sebagai penopangnya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Andre dengan kedua alis saling bertautan karena mendapati keadaan Fakhira yang sangat mengenaskan. Dengan mata memerah dan menyisakan jejak air mata yang begitu kentara di pipinya, Andre yakin bahwa gadis itu telah menangis cukup lama. Terlebih lagi, isakan tangis yang masih terdengar dapat menggambarkan bagaimana keadaan Fakhira saat ini.

Fakhira hanya menggeleng dengan kedua tangan memeluk dirinya sendiri. Mata dan hidungnya yang memerah telah menjawab pertanyaan Andre saat itu.

"Aku antar pulang, ya?" tawar Andre sembari menatap iba dengan keadaan Fakhira saat ini.

Tanpa dapat menyembunyikan isak tangis kesedihannya, Fakhira mengangguk kecil.

Atas persetujuan Fakhira, Andre pun mengajak gadis itu berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri. Andre membukakan pintu mobilnya untuk Fakhira sebelum dirinya terduduk di belakang kemudi.

Dengan kecepatan sedang, Andre melajukan mobilnya menuju apartemen Fakhira. Di sepanjang perjalanan pun dia terus-menerus mencuri pandang ke arah Fakhira yang saat ini masih terisak dengan pandangannya menatap ke luar jendela. Karena tak ingin melihat Fakhira bersedih, Andre pun tak berniat untuk membuka suara dan lebih memilih untuk segera melajukan mobilnya saja.

Setelah memarkirkan mobil di depan gedung apartemen, Andre pun keluar dari mobil dan membukakan pintu mobilnya untuk Fakhira.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Andre saat Fakhira melangkahkan kakinya keluar dari mobil.

"Makasih udah anterin aku ya, Dre," ucap Fakhira sembari masih terus terisak. Dengan kedua tangannya, dia terus berusaha agar air matanya tidak membekas di pipi. Namun karena terlalu banyak air matanya keluar, Fakhira pun tak dapat menyembunyikan kesedihan lewat air matanya itu.

Ketika Fakhira menutup rapat kedua matanya, kembali dia teringat akan kejadian-kejadian yang membuat dia menjadi sesedih ini. Bayangan ketika dia pertama kali mengenal Alan, dekat dengannya, jalan bersama, menangis dalam pelukannya, dan kini dia kecewa karenanya. Semua itu membuat Fakhira kembali merutuki diri karena malu dengan betapa bodohnya dia selama ini.

Dengan memegangi kepalanya yang terasa pening, Fakhira merasa pandangannya menggelap dan tak lagi dapat mendengar apa pun kecuali suara Andre di telinganya.

---

Mendapati Fakhira pingsan, Andre pun berinisiatif untuk membawa Fakhira ke dalam apartemennya. Setelah membopong Fakhira dan dia baringkan di atas kasur, Andre pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Pada saat dia akan kembali ke dalam kamar Fakhira, pintu apartemen itu tiba-tiba terketuk dan dia segera membukanya.

"Fakhira ada di dalam, 'kan?" tanya seorang pria bersetelan jas khas dokter berwarna putihnya.

Mendengar pertanyaan itu, Andre mengangguk. Suhu badan Fakhira memang sedikit tinggi dan membutuhkan dokter, tapi Andre sendiri pun belum mengundang seorang dokter untuk mendatangi apartemen ini.

Alan--pria berjas dokter itu-- mengulurkan tangan kanannya pada Andre. "Aku Alan, dokter pribadinya Fakhira."

Andre mengangguk paham dan membalas uluran tangan Alan. "Ada, Dok, Fakhira ada di dalam."

Seusai jabatan tangan mereka, Alan segera masuk ke dalam apartemen saat Andre membukakan pintu itu lebih lebar. Karena sudah pernah masuk ke dalam apartemen ini sebelumnya, Alan pun segera melangkahkan kaki ke sebuah ruangan yang pintunya terbuka lebar.

Dalam pandangannya saat ini, Alan melihat seorang gadis dengan mata tertutup tengah terbaring di atas kasur dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Dengan langkah cepat Alan menghampiri gadis itu dan terduduk di sampingnya.

Saat tangan kirinya mendarat di kening Fakhira yang terasa sedikit hangat, kedua belah bibir Alan terasa bergetar hebat karena tak kuasa menahan apa yang menjadi alasannya bersedih saat ini. Meski Alan tahu ini semua akan terjadi, tapi sesungguhnya dia pun tak ingin semuanya menjadi sesakit ini.

Bodohnya dia telah membohongi seorang gadis yang jelas sangat menaruh hati padanya. Seakan menjadi pria yang paling tak mempunyai perasaan, Alan kini sadar bahwa hal yang ditutupinya selama ini adalah musibah besar baginya. Alan tahu dia jahat, untuk itu dia selalu berusaha untuk terlepas dari Fakhira meski dia pun tak ingin sebenarnya.

"Aku harap kamu baik-baik aja, Kira ...," lirih Alan ketika mendaratkan satu kecupan di kening Fakhira.

Satu tetes air mata sukses membuat Alan semakin tersadar bahwa dia pun merasa sangat menyesal. Terlebih ketika dia melihat secara langsung bahwa Fakhira sampai sakit karenanya, semua membuat Alan semakin terpukul.

Layaknya dokter pada umumnya, Alan memeriksa keadaan Fakhira dan memberikan obat-obatan yang sudah dia siapkan dari rumah sakit.

Alan mengelus singkat punggung tangan Fakhira sebelum dia bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Andre yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar Fakhira.

Sembari berdehem untuk menetralkan suaranya, Alan memberikan satu keresek berisi beberapa macam obat dan vitamin untuk Fakhira melalui Andre.

"Tolong beri obat dan vitamin ini pada Fakhira setelah dia bangun dan makan nanti. Aku sudah memesankan bubur ayam untuknya, jadi kamu tolong pastikan kalau dia makan dan minum obat beserta vitaminnya," ujar Alan dengan panjang lebar seperti dokter pada umumnya.

Andre mengangguk dan menerima keresek dari tangan Alan meski masih banyak tanya dalam benak dia karena tadi mendapati dokter itu melirih untuk Fakhira.

Alan mengeluarkan kartu namanya dari dalam saku jas dan dia berikan pada Andre. "Dan kalau dia sudah sadar, tolong hubungi aku di nomor itu."

Lagi-lagi Andre menerima itu dari Alan dan mengangguk paham.

To be continued

Kazza🐨

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang