[26] pamit

1.4K 104 1
                                    

/jika aku pergi, tolong beristirahatlah. agar jika nanti aku kembali, hatimu sedikit lebih baik dari ini/

Baru saja Fakhira merasa sangat bahagia dan berharap rasa itu tak akan pernah hilang. Baru saja Fakhira berharap semua rasa khawatirnya akan terhempas dari perasaan. Tapi mengapa? Belum juga genap satu minggu bahagia bersemayan, tapi kesedihan kembali menyelimuti. Rasanya, lagi-lagi bahagia tak pernah bisa berdamai dengan dirinya. Itu membuat Fakhira kembali merasa tidak diinginkan dari dunia.

Apa menangis masih bisa memperbaiki keadaan? Karena nyatanya, telah dicoba untuk tegar dan tak memedulikan semuanya, tapi sakit yang dirasa Fakhira tak terasa berkurang. Berulang kali dia bertanya tentang apa salahnya sehingga semua harus terjadi padanya? Tapi saat itu juga, waktu menjawab dengan lantang bahwa semua terjadi hanya karena takdir yang mengundang kesedihan.

Beberapa manusia berharap bahwa masa lalu dapat dijadikan pelajaran agar hidup lebih baik ke depannya, tapi ada pula manusia yang berharap untuk dapat melupakan masa lalu kelam dalam hidupnya. Salah satunya adalah Fakhira. Karena semenjak ibunya tiada, hal yang mengganjal dalam hidupnya pasti berasal dari masa lalunya.

Sebenarnya Fakhira sangat membutuhkan seorang teman untuk bersandar, tapi Lisa belum juga pulang dari Bandung sejak kunjungan mereka berdua weekend lalu. Lisa bilang, dia harus menghadiri acara reuni mendadak dengan teman SMA-nya. Widia pun dengan sangat terpaksa harus meninggalkan Fakhira karena dia pergi ke Bali untuk acara kampus.

Semalaman, Fakhira hanya bisa meringkuk di dalam selimut dengan air mata yang tak henti mengucur sedari tadi. Mempermasalahkan rasa ketidakadilan yang belum juga bisa Fakhira terima. Karena  bagaimana pun, Fakhira selalu merasa ingin disayang ayahnya. Seperti ayahnya yang kerap dekat dengan Alan dan terlihat sangat menyayanginya. Setegar apa pun Fakhira, dia pasti akan menuntut haknya sebagai seorang anak.

Fakhira mengurung diri di kamar sejak pulang dari rumah makan bersama Widia. Di kamarnya, hanya sebuah lampu tidur yang redup untuk menemani isak tangisnya yang masih terdengar samar. Untuk menutup kedua mata dan terlelap, rasanya begitu sulit bagi Fakhira saat ini.

Jam menunjukkan pukul tiga pagi, tapi Fakhira belum juga merasakan kantuk. Perutnya terasa kosong dan dia tidak bisa terlelap tidur. Masih dengan kedua mata yang memerah dan kepala yang terasa pusing, Fakhira beranjak dari atas kasur dan berjalan keluar dengan sedikit sempoyongan.

Sebelum benar-benar menuruni anak tangga, Fakhira mengucek-ngucek kedua matanya dan menetralkan pandangan juga kepalanya yang terasa masih pusing. Dengan gontai, Fakhira menuruni anak tangga dan berjalan ke arah dapur untuk mengisi perut dan tenggorokannya yang terasa kering.

Namun, Fakhira melupakan hal bahwa ini adalah tanggal tua. Tantenya pasti belum belanja untuk mengisi kulkas. Untung saja masih tersisa satu susu kotak putih  berukuran sedang di dalam kulkas. Fakhira mengambil sedotan dan mencobloskannya pada bagian atas kotak susu itu.

Saat tengah berjalan untuk kembali ke kamar, tiba-tiba saja Fakhira ingin pergi ke ruang depan. Entah karena apa, tapi kedua kakinya melangkah begitu saja. Fakhira pun menuruti nalurinya. Awalnya Fakhira mengira bahwa dia hanya ingin terduduk di sofa ruang depan, tapi entah dorongan dari mana dia melangkahkan kakinya ke pintu utama dan membukanya.

"Kak Alan?" Fakhira bergumam tak percaya ketika mendapati Alan tengah berdiri di depan pintu rumahnya dengan keadaan kepala mununduk. "Kak Alan sedang apa di sini?"

Keheningan di antara keduanya menjadi sebuah saksi ketika angin yang menerpa di langit kelam mengenai kulit mereka.

Dengan sedikit ragu, Alan mengangkat kepalanya. "Satu kali lagi, aku ingin meminta maaf."

Komunikator (Completed) ✓Where stories live. Discover now